Assalamu'alikum
Iddah berasal dari kata ‘idda ya ’uddu ‘idatan secara bahasa dimaknai dengan perhitungan bagi masa tunggu wanita setelah penceraian dengan suami.
Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa iddah adalah “Adadtu As-Syay’i Aidatan” yakni aku menghitung sesuatu dengan hitungan, juga dengan menghitung masa iddahnya perempuan (‘Iddatu Al-Mar’ah).
Iddah secara istilah yakni masa tunggu seorang perempuan setelah diceraikan ataupun ditinggal mati suaminya.
Akhir masa iddah tersebut bergantung kepada keadaan perempuan yang mengalaminya. Misalnya, sedang dalam keadaan hamil, tidak hamil, masa haid atau masa suci dengan bilangan bulan.
Menurut madzab Hanafi, iddah adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi seorang perempuan untuk menghormati atas kepergian suaminya (berkabung) atau yang bersifat material, seperti memastikan tidak adanya kehamilan.
Menurut madzab Maliki, masa iddah sebagai masa yang harus dikosongkan dan dijalani oleh seorang perempuan, yakni dilarang menikah yang disebabkan sudah ditalak atau ditinggal mati suaminya.
Menurut madzab Shafi'i, masa iddah adalah masa penantian bagi seorang perempuan untuk memastikan kebersihan rahim dan dijadikan simbol kesedihan istri atas kepergian suami, atau iddah merupakan syari'at agama untuk tujuan ibadah.
Menurut madzab Hambali, masa iddah sebagai masa tunggu yang telah ditentukan oleh agama bagi seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya atau ditalak.
Sedangkan secara istilah, pengertian iddah dikalangan para ulama fiqih dan berbagai kitab, terdapat sedikit perbedaan pendapat, diantaranya:
1. Kitab Al-Wajiz, Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau kematian suami, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’ atau dengan hitungan bilangan beberapa bulan.
2. Kitab Mausu’ah Fiqihiyyah, Iddah berarti saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk
mengetahui kekosongan rahimnya untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih.
3. Kitab Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, Iddah adalah sebuah nama bagi suatu masa yang telah ditetapkan oleh agama sebagai masa tunggu bagi seorang perempuan setelah perpisahan baik berpisah karena ditinggal mati atau diceraikan suaminya, dan di saat itu ia tidak diperbolehkan menerima pinangan, menikah, atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya, hingga masa iddahnya selesai.
Dasar hukum kewajiban menjalani iddah bagi seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya dengan penyebab yang berbentuk apapun. misalnya, cerai mati atau hidup, sedang hamil,dalam keadaan haid atau tidak sedang dalam keadaan hamil dan haid tetap wajib melaksanakan iddah dengan landasan QS. Al Baqarah, ayat 228 :
وَا لْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَ بَّصْنَ بِاَ نْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْٓءٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْۤ اَرْحَا مِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِا للّٰهِ وَا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ ۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَا دُوْۤا اِصْلَا حًا ۗ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۖ وَلِلرِّجَا لِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَا للّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
wal-muthollaqootu yatarobbashna bi-angfusihinna salaasata quruuu, wa laa yahillu lahunna ay yaktumna maa kholaqollohu fiii ar-haamihinna ing kunna yu-minna billaahi wal-yaumil-aakhir, wa bu'uulatuhunna ahaqqu biroddihinna fii zaalika in arooduuu ishlaahaa, wa lahunna mislullazii 'alaihinna bil-ma'ruufi wa lir-rijaali 'alaihinna darojah, wallohu 'aziizun hakiim
"Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
Hadis Nabi Muhammad saw :
عَنِ اْلاَسْوَدِعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :اُمِرَتْبَرِیْرَةُاَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَثِ حِیَض
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Barirah diperintahkan untuk menjalani masa iddah sebanyak tiga kali haidh” (HR.Ibnu Majah)
Dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan. Bahwa masa iddah seorang perempuan adalah 3 kali haid.
Dalam islam sendiri sebenarnya ada beberapa kondisi yang menyebabkan seorang mantan
suami tidak bisa menikah dengan perempuan lain kecuali telah selesai masa iddahnya mantan istri yang telah dia ceraikan. Kondisi tersebut adalah :
1. Seorang lelaki telah memiliki 4 (empat) istri kemudian menceraikan salah satu atau lebih
diantara mereka. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki tidak boleh menikah lagi dengan siapapun sebelum masa iddah istri yang diceraikannya telah habis. Dasar larangan ini adalah seorang lelaki hanya dibolehkan memiliki maksimal 4 (empat) orang istri.
Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini seorang lelaki harus menunggu selesainya masa iddah mantan istri yang telah diceraikannya. Larangan ini tentu saja sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surat An-nisa ayat 3 :
وَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَا نْكِحُوْا مَا طَا بَ لَـكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تَعْدِلُوْا فَوَا حِدَةً اَوْ مَا مَلَـكَتْ اَيْمَا نُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰۤى اَلَّا تَعُوْلُوْا
wa in khiftum allaa tuqsithuu fil-yataamaa fangkihuu maa thooba lakum minan-nisaaa-i masnaa wa sulaasa wa rubaa', fa in khiftum allaa ta'diluu fa waahidatan au maa malakat aimaanukum, zaalika adnaaa allaa ta'uuluu
"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."
2. Mantan suami ingin menikah dengan perempuan yang dilarang dinikahi karena telah menikah dengan istri yang diceraikannya. Seorang lelaki yang telah mentalak istrinya dalam talak raj’i, tidak boleh menikah dengan wanita yang mempunyai hubungan mahram (saudara, bibi dan keponakan) dengan istrinya sampai habisnya masa iddah istri. Lelaki tersbut bisa menikahi saudara, bibi dan keponakan mantan istrinya jika masa iddah istri telah habis.
Ulama sepakat bahwa seorang lelaki yang menceraikan istrinya talak raj’i, maka dia tidak boleh menikahi saudara istrinya, hingga selesai masa iddah istri yang ditalak. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَ خَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَ خِ وَبَنٰتُ الْاُ خْتِ وَاُ مَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْۤ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَ خَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَا عَةِ وَ اُمَّهٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَآئِكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ ۖ فَاِ نْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَآئِلُ اَبْنَآئِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَا بِكُمْ ۙ وَاَ نْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُ خْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
hurrimat 'alaikum ummahaatukum wa banatukum wa akhowaatukum wa 'ammaatukum wa khoolaatukum wa banatul-akhi wa banatul-ukhti wa ummahaatukumullaatiii ardho'nakum wa akhowaatukum minar-rodhoo'ati wa ummahaatu nisaaa-ikum wa robaaa-ibukumullaatii fii hujuurikum min-nisaaa-ikumullaatii dakholtum bihinna fa il lam takuunuu dakholtum bihinna fa laa junaaha 'alaikum wa halaaa-ilu abnaaa-ikumullaziina min ashlaabikum wa ang tajma'uu bainal-ukhtaini illaa maa qod salaf, innalloha kaana ghofuuror rohiimaa
"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Demikian Pengertian Masa Iddah Atau Masa Tunggu Perempuan. Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum
0 Komentar