Aqidah seorang mukmin


Kemudian, seorang mukalaf minimal harus meyakini tafsiran dari kata-kata “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jika ia membenarkan Rasul saw., maka ia juga harus membenarkan beliau dalam hal sifat-sifat Allah Swt. Dia Zat Yang Maha hidup, Berkuasa, Mengetahui, Berbicara, dan Berkehendak Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Namun, ia tak harus meneliti hakikat sifat-sifat Allah tersebut serta tak harus mengetahui apakah kalam dan ilmu Allah bersifat qadim atau baru. Bahkan, tak jadi masalah walaupun hal RI tak pernah terlintas dalam benaknya sampai ia matt da lam keadaan mukmin. Ia tak wajib mempelajari dalil dalil yang dikemukakan oleh para ahli kalam. Selama hatinya meyakini al-Haq, walaupun dengan iman yang tak disertai dalil dan argumen, ia sudah merupakan mukmin. Rasulullah saw. tidak membebani lebih dari itu.

Begitulah keyakinan global yang dimiliki oleh bangsa Arab dan masyarakat awam, kecuali mereka yan berada di negeri-negeri dimana masalah-masalah tentang qadim dan barunya kalam Allah, serta istiwa dan nuzul Allah, ramai diperdebatkan. Jika hatinya tak terlibat dengan hal itu dan hanya sibuk dengan ibadah dan amal salehnya, maka tak ada beban apa pun baginya. Namun, jika ia juga memikirkan hal itu, maka minimal ia harus mengakui keyakinan orang-orang salaf yang mengatakan bahwa Alquran itu qadim, bahwa Al­quran adalah kalam Allah, bukan makhluk, bahwa is­tiwa Allah adalah benar, bahwa menanyakan tentangnya adalah bidah, dan bahwa bagaimana cara istiwa itu ti­dak diketahui. Ia cukup beriman dengan apa yang di­katakan syariat secara global tanpa mencari-cari hakikat dan caranya. Jika hal itu masih tidak berguna juga, di­mana hatinya masih bimbang dan ragu, jika memung­kinkan, hendaknya keraguan tersebut dihilangkan de­ngan penjelasan yang mudah dipahami walaupun tidak kuat dan tidak memuaskan bagi para ahli kalam. Itu sudah cukup dan tak perlu pembuktian dalil. Namun, lebih baik lagi kalau kerisauannya itu bisa dihilangkan dengan dalil yang sebenarnya. Sebab, dalil tidak sem­purna kecuali dengan memahami pertanyaan dan jawab­annya. Bila sesuatu yang samar itu disebutkan, hatinya akan ingkar dan pemahamannya tak mampu menang­kap jawabannya. Sebab, sementara kesamaran tersebut tampak jelas, jawabannya pelik dan membingungkan sehingga sukar dipahami akal. Oleh karena itu, orang­-orang salaf tak mau mengkaji dan membahas masalah ilmu kalam. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan masyarakat awam yang lemah.

Adapun orang-orang yang sibuk memahami berba­gai hakikat, mereka memiliki telaga yang sangat mem­bingungkan. Tidak membicarakan masalah ilmu kalam kepada orang awam adalah seperti melarang anak kecil mendekati pinggir sungai karena takut tenggelam. Se­dangkan orang-orang tertentu diperbolehkan karena me­reka mahir dalam berenang. Hanya saja, ini merupakan tempat yang bisa membuat orang lupa diri dan mem­buat kaki tergelincir, dimana, orang yang akalnya lemah merasa akalnya sempurna. Ia mengira dirinya bisa me­ngetahui segala sesuatu dan dirinya termasuk orang hebat. Bisa jadi, mereka berenang dan tenggelam dalam lautan tanpa ia sadari. Hanya segelintir orang saja dari mereka yang menempuh jalan para salaf dalam meng­imani para rasul serta dalam membenarkan apa yang diturunkan Allah Swt. dan apa yang diberitakan Ra­sul-Nya dimana mereka tak mencari-cari dalil dan ar­gumen. Melainkan, mereka sibuk dengan ketakwaan.

Demikianlah, ketika Nabi saw. melihat para sahabatnya sibuk berdebat, beliau marah hingga memerah kedua pipi beliau dan berkata, “Apakah kalian diperintahkan untuk ini. Kalian mengumpamakan sebagian isi Kitab­ullah dengan yang lain. Perhatikan! apa yang Allah pe­rintahkan pada kalian kerjakanlah, sedangkan yang dilarang kalian tinggalkan.” Ini merupakan peringatan terhadap manhaj yang benar. Lengkapnya, hal itu kami jelaskan dalam kitab Qawa’id al-Aqaa’id.