HADITS KE-780
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.
Studi Sanad
Hadits ini termasuk hadits yang paling sahih secara takhrij dan sanad. Secara takhrij, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sedangkan secara sanad karena hadits tersebut melewati jalur yang paling valid secara mutlak (Ashah Al Asanid), yaitu Sulaiman bin Mihran Al A'masy dari Ibrahim An-Nakha'i dari 'Alqamah bin Qais An-Nakha'i dari Abdullah bin Mas'ud. Silsilah sanad tersebut dinilai sebagai sanad terbaik, seperti silsilah sanad Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar.
Imam Bukhari dan Nasa'i juga meriwayatkan hadits yang sama dari Al-A'masy dengan jalur yang berbeda, yaitu dari 'Ammarah bin 'Umair dari Abdurrahman bin Yazid. Sanad tersebut sahih. Jadi, Al-A'masy memiliki dua jalur dalam riwayat hadits ini.
Sababul Wurud (Sebab Turunnya Hadits)
Imam Bukhari dan Nasa'i meriwayatkan dari Al-A'masy, dia berkata: 'Ammarah dari Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama 'Alqamah pernah mendatangi Abdullah (Ibnu Mas'ud), lalu beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: Dahulu kami adalah para pemuda yang tidak memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, dst".
Dalam riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman bin Yazid) dan pamanku ('Alqamah) dan Al Aswad pernah mendatangi Abdullah bin Mas'ud. Beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: "Pada saat itu aku masih seorang pemuda". Lalu beliau menyebutkan hadits itu, seolah-olah beliau menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku menikah.
Gharibul Hadits (Istilah-Istilah Asing)
Ma'syar, artinya sekelompok atau segenap orang yang memiliki sifat tertentu, seperti segenap pemuda, segenap orang tua, segenap para nabi dan sebagainya.
Syabab: bentuk plural (jamak) dari Syab, artinya para pemuda.
Ba'ah, secara bahasa berarti jima' (bersenggama) kemudian dipakai untuk menyatakan akad nikah.
Wija', artinya tameng. Orang yang berpuasa seolah-olah memiliki tameng yang dapat melindungi dirinya.
Musykilul Hadits
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim (1) mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Ba'ah dalam hadits tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Ba'ah di sini adalah maknanya secara bahasa, yaitu jima'. Jadi bunyi hadits tersebut menjadi, "Barangsiapa di antara kalian telah mampu berjima', hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu berjima', hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwat dan air maninya, sebagaimana tameng yang menahan serangan".
Jika yang dimaksud Ba'ah adalah jima', maka objek dari hadits tersebut adalah para pemuda yang memiliki hasrat yang besar terhadap lawan jenisnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud Ba'ah adalah kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah dan keperluan pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya menjadi, "Barangsiapa di antara kalian telah mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwatnya".
Makna dan Uslub
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengarahkan anjuran dan motivasi untuk menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda. Beliau bersabda, "Wahai segenap para pemuda". Kata "Ma'syar" yang berarti "segenap" menyiratkan makna kemanusiaan dan sosial yang menjadi ciri masyarakat Islam. Beliau tidak menggunakan kata lain seperti "Ya Ayyuha Syabab" misalnya, karena kata "Ma'syar" memiliki nuansa cinta dan kasih sayang dalam komunitas muslim. Hal ini merupakan salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap persoalan para pemuda, sehingga Islam memberikan perhatian yang khusus bagi mereka, yaitu anjuran untuk segera menikah bagi yang telah mampu.
"Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa". Beliau menggunakan kata "Alaihi" yang berarti "hendaklah" untuk menyatakan makna banyak. Artinya, "hendaklah ia memperbanyak berpuasa". Beliau tidak menggunakan kata "Fal Yashum" misalnya, yang berarti "berpuasalah", karena kata itu bermakna puasa yang sehari atau dua hari saja. Adapun kata "Alaihi Bishoum" bermakna memperbanyak berpuasa.
Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting dalam pernikahan, yaitu "karena ia lebih mampu menjaga pandangan dan lebih mampu memelihara kemaluan". Ini merupakan jaminan yang sangat penting bagi umat manusia yang ingin memelihara pandangan dan kemaluannya.
Dalam hadits tersebut terdapat Shighat Tafdhil yaitu kata "Aghaddu" dan "Ahshonu" yang berarti "lebih mampu menundukkan" dan "lebih mampu memelihara" untuk menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu terpeliharanya pandangan dan kemaluan. Kata tersebut juga memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki kemampuan menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat (2).
Kemudian hadits tersebut juga memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak syahwat.
Isntinbath (Hukum Fikih)
Hadits di atas mengandung hukum-hukum yang sangat penting berkaitan dengan masalah sosial, di antaranya yaitu:
1. Anjuran dan motivasi yang sangat kuat untuk menikah
Secara lahir, hadits tersebut menunjukkan wajibnya menikah bagi yang telah mampu. Tentunya yang dimaksud mampu di sini sesuai dengan pengertian yang telah kita bahas di depan. Pendapat inilah yang diambil oleh para ulama dari kalangan Zhahiriyah (3) dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (4).
Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama dan riwayat yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah bagi yang telah mampu dalah sunnah, bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa (seperti zina, onani, masturbasi, dsb). Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib baginya menurut kesepakatan seluruh ulama.
Para ulama menjawab dalil Zhahiriyah dengan sabda Rasul, "Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa". Jika berpuasa disunnahkan, maka menikah pun demikian, karena puasa adalah sebagai ganti dari menikah (5).
2. Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda sesuai kondisinya
Berikut ini rinciannya:
Wajib, bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sementara ia mampu menikah.
Haram, bagi yang belum mampu berjima' dan membahayakan kondisi pasangannya jika menikah.
Makruh, bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.
Sunnah, bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas sedangkan ia masih mampu menjaga kesucian dirinya.
Mubah, bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang apapun untuk menikah (6). Ia menikah bukan karena ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan bilogisnya semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.
Akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa poin terakhir ini hukumnya sunnah sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini berdasarkan hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah secara mutlak.
Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang ingin menghasilkan keturunan meskipun ia tidak memiliki kecenderungan untuk berjima', berdasarkan hadits "Sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)" dan juga hadits-hadits yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.
Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak sehingga semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah bagi yang telah mampu meskipun ia masih dapat menjaga kesucian dirinya (7).
3. Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah tersebarnya penyakit masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan lain sebagainya.
4. Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah sosial agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda, kerena mereka merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para pemuda di suatu komunitas baik, maka baiklah urusan mereka. Wallahu A'lamu Bishowab.
Catatan Kaki:
1 Syarah Muslim juz 5 hal. 173
2 Ibnu Daqiq Al 'Iid, Ihkam Al Ahkam juz 4 hal. 23
3 Al Muhalla juz 9 hal. 440-441
4 Fathul Bari juz 9 hal. 95
5 Fathul Bari juz 9 hal. 95; Syarah Nawawi juz 9 hal 173-174.
6 Ibnu Daqiq Al 'Iid, Al Ihkam 2/181; Ibnu Abidin: 2/358; Minahul Jalil: 2/322; Syarbini: 3/125; Al Mughni: 6/446
7 Lihat At Targhib wat Tarhib juz 3 hal. 34
HADITS KE-781
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq Alaihi.
Studi Sanad dan Riwayat
Hadits di atas merupakan potongan dari hadits yang panjang. Hadits tersebut memiliki dua jalur periwayatan dari Anas, yaitu Humaid Ath Thawil dari Anas, dan Tsabit Al Bunani dari Anas.
Adapun jalur pertama yaitu Humaid dari Anas, Imam Bukhari meriwayatkannya sebagai berikut:
Tiga orang mendatangi kediaman istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diberitahu, mereka menganggap remeh ibadah tersebut. Mereka mengatakan, "Di mana posisi kita dibandingkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam? Beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang?". Salah seorang di antara mereka mengatakan, "Aku bertekad akan melakukan shalat selamanya". Seorang yang lain menyahut, "Aku akan berpuasa selamanya tanpa berbuka". Seorang lainnya menyambung, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya".
Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang, "Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Adapun aku, demi Allah, aku adalah manusia yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa. Akan tetapi aku sholat dan tidur, berpuasa dan berbuka. Aku menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan termasuk di antara ummatku".
Dari jalur Tsabit Al Bunani, Imam Muslim meriwayatkan hadits tersebut dengan redaksi sebagai berikut:
Beberapa orang dari para sahabat datang ke rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menanyakan kepada istri beliau tentang amalan beliau yang tersembunyi. Sebagian di antara mereka mengatakan, "Aku takkan menikahi wanita", sebagian lagi mengatakan, "Aku takkan memakan daging", sebagian lagi mengatakan, "Aku takkan tidur di atas kasur".
Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertahmid dan memuji Allah, lalu bersabda, "Ada apa dengan orang-orang yang mengatakan demikian dan demikian? Padahal aku sholat dan tidur, berpuasa dan berbuka, dan menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk di antara ummatku".
Terdapat sedikit perbedaan dalam kedua riwayat di atas yang seolah-olah tampak bertentangan. Meninggalkan makan daging tentu saja berbeda dengan berpuasa secara terus-menerus. Begitu juga menghabiskan seluruh malam untuk shalat berbeda dengan meninggalkan tidur di atas kasur. Namun kejadian sebenarnya adalah terjadi lebih dari sekali, dan orang-orang yang bertanya lebih dari tiga orang sebagaimana akan kita bahas di depan (1).
Sebab Munculnya Hadits
Sebab munculnya hadits tersebut telah disebutkan dalam hadits itu sendiri, yaitu mengenai datangnya tiga orang sahabat yang menanyakan tentang ibadah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Akan tetapi, dalam kedua riwayat itu tidak disebutkan siapa tiga orang tersebut.
Dalam riwayat Abdur Razzaq disebutkan secara mursal oleh Sa'id bin Musayyab bahwa ketiga orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash dan Utsman bin Mazh'un. Disebutkan juga dalam riwayat lain nama-nama sahabat yang mendatangi beliau selain mereka bertiga. Akan tetapi riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sandaran.
Perbedaan Riwayat Hadits
Pertama, bagaimana mengkompromikan riwayat-riwayat yang berlainan tersebut? Jawabnya adalah terdapat kemungkinan bahwa ketiga orang tersebut adalah orang-orang yang bertanya secara langsung, sehingga hadits tersebut diattibutkan kepada mereka. Adapun selain mereka, karena mereka menanyakan hadits yang sama maka mereka juga diikutsertakan dalam penisbatan hadits itu (2).
Kedua, dalam riwayat Muslim disebutkan: "Maka beliau bertahmid dan memuji Allah, lalu bersabda: Ada apa dengan orang-orang yang berkata demikian dan demikian?". Dari sini terdapat dugaan bahwa sabda beliau tersebut disampaikan dalam khutbah Jum'at. Padahal dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan bahwa perkataan tersebut disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan dalam pembicaraan khusus.
Jawabnya adalah bahwasannya peristiwa tersebut terjadi di lebih dari satu tempat dan satu waktu. Beliau menyampaikan hadits itu secara umum dalam khutbah Jum'at dan di waktu lain secara khusus. Oleh karena itu, dalam riwayat khutbah Jum'at, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak menyebutkan nama-nama mereka secara langsung demi menjaga nama baik mereka dan sebagai bentuk kasih sayang beliau kepada mereka.
Ketiga, sabda beliau "Barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk (ummat)ku". Kalimat ini seolah-olah memberikan pemahaman tentang hukuman yang sangat berat melebihi akal sehat. Jawabnya, apabila ketidaksukaan itu muncul disebabkan oleh takwil yang keliru, maka orang tersebut dimaafkan. Jadi makna kalimat "tidak termasuk (ummat)ku" adalah "tidak mengikuti jalanku". Artinya ia masih dihukumi sebagai seorang muslim dan tidak keluar dari Islam.
Adapun jika ketidaksukaan itu muncul karena penolakan dan kekukuhan yang mengakibatkan orang tersebut meyakini bahwa apa yang dilakukannya itu lebih baik daripada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka dia telah dianggap telah keluar dari Islam (murtad). Karena keyakinan semacam itu adalah salah satu bentuk kekufuran (3).
Keterangan
Hadits di atas menjelaskan tentang semangat para sahabat dalam melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sehingga mereka ingin menanyakan secara langsung perihal ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada istri beliau. Namun ketika diberitahu tentang ibadah beliau, mereka merasa bahwa amalan tersebut tidaklah berat menurut mereka. Tidak disebutkan secara jelas bagaimana mereka menyatakan ketidakberatan itu. Namun tampak dari perkatan mereka "Di mana posisi kita dibandingkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lampau maupun yang akan datang?". Lalu setiap orang dari mereka bertekad untuk memperkuat ibadah mereka dengan melakukan amalan-amalan yang berat.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu menjelaskan posisi beliau sebagai seorang hamba yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepadaNya. Kemudian beliau meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang diyakini oleh para sahabatnya. Beliau menerangkan bahwa apa yang disangka oleh para sahabatnya yaitu berupa menyiksa diri dengan beribadah tidaklah dibenarkan dalam Islam, dan rasa takut kepada Allah tidak dikhususkan bagi orang-orang yang berdosa saja. Bahkan orang-orang shaleh justru memiliki rasa takut yang lebih besar kepada Allah karena mereka memahami kedudukan Allah di mata mereka.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS. An-Nazi'at: 40-41)
Ibadah bukan saja mewujudkan ungkapan dari rasa takut seseorang kepada Allah, namun juga merupakan manifestasi rasa syukur terhadap nikmat-nikmat Allah.
Hukum Fikih
1. Hadits tersebut memberikan motivasi bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk menikah. Hadits itu juga menunjukkan bahwa menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yaitu jalan ketaatan dan cara mendekatkan diri kepada Allah yang benar sesuai syariat.
2. Menikah lebih utama daripada menyendiri untuk beribadah, karena menikah sendiri merupakan salah satu bentuk ibadah. Ini merupakan pendapat mazhab Hanafiyah. Adapun menurut Syafi'iyah, menyendiri untuk beribadah lebih utama daripada menikah. Namun bagaimana pun, menikah merupakan amalan yang sangat mulia. Bersusah payah dalam mencari nafkah untuk membiayai keluarga merupakan amalan yang terpuji dan dapat mendatangkan pahala jika diniatkan untuk beribadah kepada Allah. Di samping itu, menikah juga menjadi upaya dalam rangka menghasilkan keturunan shaleh yang akan membangun peradaban umat.
3. Menyiksa diri dengan beribadah merupakan bid'ah. Islam mengajarkan keseimbangan dalam beribadah. Memperbanyak tidak sama dengan menyiksa diri, karena memperbanyak ibadah justru diperintahkan. Akan tetapi melakukan ibadah secara berlebihan sehingga mengabaikan ibadah-ibadah lainnya itu yang dilarang.
4. Perintah mengikuti pola hidup orang-orang shaleh. Dan orang yang paling shaleh di dunia ini adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kemudian setelah itu para ulama. Kehidupan orang-orang shaleh mencerminkan ajaran Islam yang benar sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
5. Tidak dibenarkan berlebih-lebihan dalam perkara yang pada asalnya diperbolehkan, baik itu berlebih-lebihan dalam menggunakannya maupun meninggalkannya (4). Terlalu berlebihan dalam beribadah akan mengakibatkan seseorang menjadi bosan dan futur. Begitu juga berlebih-lebihan dalam meninggalkan amalan kebaikan juga dapat mengakibatkan seseorang menjadi malas melakukan ibadah. Sebaik-sebaik perkara adalah pertengahannya.
6. Perintah untuk memegang erat sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan larangan dari bersikap membangkang. Hadits ini menjadi dalil batalnya ajaran kerahiban yang menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang bersifat vertikal dengan mengenyampingkan ibadah horisontal. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita jalan yang lurus dan berada pada tengah-tengah. Beliau berbuka demi mempersiapkan kekuatan untuk berpuasa. Beliau tidur demi memulihkan tenaga agar dapat melakukan shalat. Beliau juga menikah untuk menjaga kesucian diri dan menyalurkan dorongan seksual pada jalan yang benar sekaligus memperbanyak keturunan. Beliau mengajarkan pentingnya memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhani secara bersamaan. Wallahu A'lamu Bish Showab.
Catatan Kaki:
1 Fathul Bari juz 9 hal. 82
2 ibid
3 Fathul Bari 9/83
4 Fathul Bari: 9/91
HADITS KE-782
وَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
وَلَهُ شَاهِدٌ : عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ , وَالنَّسَائِيِّ , وَابْنِ حِبَّانَ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits itu mempunyai saksi menurut riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Hibban dari hadits Ma'qil Ibnu Yasar.
Isnad
Dalam sanad hadits Anas di atas terdapat perawi bernama Khalaf bin Khalifah yang reputasinya hanya dikenal sebagai seorang Shaduq (terpercaya) yang memiliki banyak kekeliruan (ikhtilath) di akhir hayatnya, sebagaimana disebutkan dalam Musnad. Dan hadits tersebut diriwayatkan setelah masa (ikhtilath) itu. Akan tetapi hadits tersebut memiliki penguat, yaitu hadits dari Ma'qil bin Yasar, yang redaksinya agak berbeda sedikit, "Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat". Ibnu Hibban dan Al-Hakim menilai hadits tersebut shahih, dan Adz Dzahabi juga menyepakatinya.
Demikian juga hadits Abdullah bin 'Amru bin Al-Ash dalam Musnad1 menjadi penguat hadits Anas di atas, sehingga hadits tersebut menjadi kuat dan shahih dalam hal anjuran untuk menikahi wanita yang subur dan penyayang.
Istilah-istilah Asing
Tabattul, yaitu terus membujang dan menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala tanpa menikah.
Al-Wadud (penyayang), berasal dari kata al-Wudd yang berarti cinta dan kasih sayang. Wanita yang Wadud berarti wanita yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang yang sangat besar terhadap suaminya. Hal itu dapat diketahui dari pergaulannya, pengakuan orang-orang di sekitarnya, kerabatnya, teman-temannya, pendidikannya dan lingkungan tempat ia tumbuh dan dibesarkan.
Al-Walud (subur), artinya banyak anak. Hal itu dapat diketahui dari kerabat-kerabatnya jika ia masih seorang gadis, atau dari pengalamannya bersama suaminya jika ia seorang janda.
Istinbath
Hadits di atas berisi anjuran untuk menikahi wanita yang subur dan penyayang. Subur dimaksudkan agar dapat melahirkan anak yang banyak. Sedangkan penyayang merupakan sifat mulia yang melekat pada diri wanita shalihah. Hadits tersebut juga menunjukkan keutamaan memiliki anak shaleh yang banyak. Pada zaman dahulu, masyarakat Arab merasa bangga jika memiliki banyak anak. Dalam Islam, kebiasaan tersebut didukung dengan anjuran memiliki anak yang banyak dan shaleh sebagaimana dalam hadits lain yang berbunyi, "Jika seseorang mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara", di antaranya adalah anak shaleh.
_________
1 Musnad Imam Ahmad 2/171-172, redaksinya: “Nikahilah Ummahat al-Aulaad, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari Kiamat”
HADITS KE-783
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَةِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.
Istinbath
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya menikahi wanita karena orientasi apapun, baik itu yang bersifat duniawi maupun ukhrowi, karena redaksi hadits tersebut merupakan bentuk ikhbar (pemberitahuan) sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurtubhi1. Artinya, keempat faktor itulah yang menjadi motivasi utama dinikahinya wanita. Jadi, hadits tersebut berbicara realita. Akan tetapi di situ terdapat sebuah himbauan bagi para pria agar lebih mengutamakan faktor agamanya. Hadits di atas menjadi panduan bagi para pria dalam memilih calon pendamping hidupnya. Di mana seorang laki-laki tidak seharusnya menjatuhkan pilihannya dikarenakan faktor duniawi semata, melainkan perlu dipertimbangkan juga faktor komitmen agamanya. Bahkan itulah yang harus diprioritaskan sebagaimana ditegaskan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, karena boleh jadi kecantikannya akan mencelakakannya. Jangan pula karena hartanya, karena boleh jadi hartanya akan menjadikannya melampaui batas. Akan tetapi, nikahilah mereka karena agamanya. Sungguh, seorang budak wanita yang telinganya sobek (maksudnya buruk rupa) yang memiliki (komitmen) agama itu yang lebih utama”2
Hadits tersebut juga berisi anjuran agar mencari pasangan yang berasal dari keturunan yang baik. Namun jika faktor keturunan bertentangan dengan faktor agama, maka yang harus diutamakan adalah faktor agama. Begitu juga dengan faktor-faktor lainnya, jika bertentangan satu sama lain, maka yang harus didahulukan adalah faktor agamanya.
_____________________
1 Fathul Bari 9/116
2 Tazwij Dzat Ad-Diin (Menikahkan para wanita yang memiliki komitmen agama) 1/597
HADITS KE-784
وَعَنْهُ ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَّأَ إِنْسَانًا إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ : ( بَارَكَ اَللَّهُ لَكَ , وَبَارَكَ عَلَيْكَ , وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila mendoakan seseorang yang nikah, beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Isnad
Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini shahih menurut standar Imam Muslim dan belum diriwayatkan oleh beliau”. Imam Adz-Dzahabi juga menyepakatinya. Akan tetapi hadits ini melewati jalur Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah. Status Abdul Aziz dan Suhail masih diperbincangkan[5].
Akan tetapi hadits tersebut memiliki syahid (penguat) berupa hadits dari Uqail bin Abi Thalib, ia berkata: ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh Rasulullah SAW, “Baarakallahu fikum wa baaraka ‘alaikum” (HR. Ahmad An-Nasa’I dan Ibnu Majah, para perawinya tsiqot[6]).
Begitu juga dengan hadits Anas bahwasannya Abdurrahman bin Auf ketika berkata kepada Nabi SAW, “Saya telah menikah”, beliau menjawab, “Baarakallahu laka, adakanlah pesta walimah mekipun dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim[7]).
Istinbath
Hadits tersebut berisi anjuran untuk memberikan ucapan Tarfiyah bagi orang yang telah menikah, yaitu doa agar mendapatkan barokah dan kebaikan, sebagaimana ditetapkan oleh para Fuqoha[8].
Pada awalnya, dahulu orang-orang zaman Jahiliyah menggunakan ungkapan ini untuk mendoakan pasangan suami-istri agar mendapatkan keharmonisan dalam rumah tangga dan mendapatkan anak laki-laki. Mereka biasa mengucapkan “Bir rifai wal banin” (semoga mendapatkan keharmonisan dan anak laki-laki). Hingga akhirnya ungkapan ini dikenal dengan istilah Tarfiyah, yaitu doa untuk orang yang telah menikah.
Dalam salah satu riwayat yang terdapat dalam Musnad disebutkan bahwa Aqil bin Abi Thalib menikah. Ketika ia keluar, kami mengucapkan “Bir Rifai wal banin”. Lalu ia berkata, “Jangan ucapkan itu karena Rasulullah SAW pernah melarang kami mengucapkannya. Tapi ucapkanlah: Baarakallahu fiika wa baaraka laka fiiha”.
Semua itu menjadi dalil terhapusnya ucapan-ucapan Tarfiyah pada zaman Jahiliyah yang mengkhususkan doa hanya untuk anak laki-laki saja dan diganti dengan doa Tarfiyah Islam.
Hikmah dari doa Tarfiyah dalam Islam adalah sebagai pengingat bagi pasangan suami-istri bahwasannya pernikahan merupakan pintu gerbang menuju babak kehidupan baru yang penuh lika-liku dan aral melintang. Oleh karena itu, mereka membutuhkan doa ini agar bahtera rumah tangga yang akan mereka jalani bisa tetap bertahan dan tidak karam di tengah samudera kehidupan yang sangat luas.
Pernikahan tidak hanya sekedar penyalur kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu, pernikahan merupakan salah satu sarana dalam menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Karena kebahagiaan tidak selalu berwujud harta atau materi, namun kebahagiaan sejati sebenarnya terletak pada keberkahan pernikahan itu sendiri. Berapa banyak pasangan suami-istri yang hidup serba pas-pasan secara ekonomi, namun kehidupan mereka terasa begitu indah dan manis. Sebaliknya, berapa banyak keluarga yang hancur padahal secara materi kehidupan mereka sangat berlimpah.
Itulah Islam yang mengajarkan umatnya agar saling mendoakan supaya mendapatkan berkah dan kebaikan dari Allah SWT.
____________________
[5] Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi di-tsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan Al-‘Aljli. Menurut Abu Zur’ah, “Buruk hafalannya”. An-Nasai berkomentar: “Tidak kuat”. (At-Tahdzib 6/353)
[6] Musnad 1/201; An-Nasai “Kaifa Yud’a lil Mutazawwij” 6/128 no. 3371; Ibnu Majah pada tempat yang sama dengan sebelumnya dengan lafadz: Allahumma baarik lahum wa baarik ‘alaihim; lihat penjelasan selengkapnya mengenai sanad hadits dalam Fathul Bari 9/186-187 Bab Kaifa Yud’a lil Mutazawwij.
[7] Bukhari “Kaifa Yud’a lil Mutazawwij” 7/21; Muslim “Ash-Shadaaq…” 4/144.
[8] Ad-Dasuqi ‘Ala Syarhil Kabir 2/216; Minahul Jalil 2/6; Al-Mughni 6/539; Syarh Syir’atil Islam karangan Sayyid Ali Zaad 448; Al-Muhadzab 2/41.
HADITS KE-785
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : ( عَلَّمَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلتَّشَهُّدَ فِي اَلْحَاجَةِ : إِنَّ اَلْحَمْدَ لِلَّهِ , نَحْمَدُهُ , وَنَسْتَعِينُهُ , وَنَسْتَغْفِرُهُ , وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا , مَنْ يَهْدِهِ اَللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَيَقْرَأُ ثَلَاثَ آيَاتٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَالْحَاكِمُ
Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengajari kami khutbah pada suatu hajat: (artinya = Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami. Barangsiapa mendapat hidayah Allah tak ada orang yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak ada yang kuasa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya) dan membaca tiga ayat. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan Hakim.
Isnad
Hadits tersebut datang dari jalur Abu Ishaq As-Sabi’i dari Abu Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasai dari jalur Al-A’masy dari Abu Ishaq dar Abu Al-Ahwash dari Abdullah. Di dalamnya terdapat dua musykilah:
Pertama, perbedaan riwayat. Abu Ishaq meriwayatkannya dari Abu Ubaidah dari Abdullah dan dari Abu Al-Ahwash dari Abdullah. Bagaimana ini?
Kedua, di dalam kedua isnad tersebut terdapat kelemahan. Abu Ubaidah adalah putra Abdullah Ibnu Mas’ud. Dia tidak pernah mendengar dari ayahnya. Al-A’masy adalah tsiqoh mudallis dan tidak menyatakan mendengar secara terus terang.
Jawaban dari musykilah pertama adalah bahwa kedua jalur tersebut shahih dari dua sisi. Imam Tirmidzi berkata, “Kedua hadits tersebut shahih, karena Israil menggabungkannya lalu berkata: dari Abu Ishaq dari Abu Al-Ahwash dan Abu Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Ini yang menjadi sandaran (dalil) para ulama bahwa riwayat orang yang sendirian dengan sanadnya adalah shahih, jika hadits tersebut juga diriwayatkan oleh orang banyak (jamaah).”
Diperkuat lagi bahwa Abu Ishaq adalah orang yang memiliki wawasan luas mengenai hadits.
Adapun jawaban terhadap kelemahan dalam kedua sanad tersebut adalah bahwa kelemahan tersebut sangat ringan, dan satu sama lain saling menguatkan. Maka derajatnya naik menjadi hasan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Tirmidzi. Ditambah lagi bahwa hadits tersebut juga diriwyatkan oleh Abu Daud dan Thabrani dalam Al-Kabir dari jalur Abu Iyadh dari Ibnu Mas’ud secara marfu’. Abu Iyadh adalah majhul, tapi riwayatnya sah sebagai mutaba’at.
Kesimpulannya bahwa hadits tersebut memiliki ‘illah yang tidak parah.
Mufrodat
Tasyahhud, maksudnya khutbah. Disebut demikian karena khutbah mencakup tasyahhud. Dan tasyahhud termasuk inti khutbah.
Hajat, artinya kebutuhan, yaitu sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia. Beberapa literatur menyebutkan bahwa hajat yang dimaksud dalam hadits ini adalah pernikahan. Sebagian ulama ada yang tetap menganggap bahwa hajat di sini bersifat umum dan mencakup seluruh hajat manusia, tidak hanya pernikahan saja.
Tiga ayat. Yang dimaksud tiga ayat sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tirmidzi dan Nasa’i adalah sebagai berikut:
An-Nisa 1:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ali Imran 102:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Al-Ahzab 70-71:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Hukum
Hadits tersebut menunjukkan disunnahkannya khutbah dalam acara hajatan. Para ulama bersepakat mengenai hal ini.
Ibnu Qudamah berkata, “Khutbah tidaklah wajib menurut salah seorang ulama yang kami ketahui[1], kecuali Daud (Azh-Zhahiri), beliau mewajibkannya berdasarkan apa yang telah kami sebutkan,” maksudnya hadits Ibnu Mas’ud di atas.
Akan tetapi pendapat Daud tertolak berdasarkan hadits lain yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengesahkan beberapa akad tanpa menyertainya dengan khutbah. Di antaranya adalah hadits wahibah (wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam). Beliau bersabda kepada lelaki yang hendak menikahinya, “Aku nikahkan kamu dengan dia dengan (mahar) hafalan Quranmu,” tanpa berkhutbah apapun. Dan kejadian semacam ini sangatlah banyak, tak perlu disebutkan satu-persatu di sini.
Kemudia kata “hajat” (kebutuhan) dalam hadits di atas secara umum memang mencakup seluruh hajat. Akan tetapi para ulama menafsirkan kata itu dengan “pernikahan”.
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang khutbah sangatlah beragam redaksinya. Secara keseluruhan menunjukkan disunnahkannya membaca hamdalah, dua syahadat, dan beberapa ayat Al-Quran[2].
Sebagian orang mengira bahwa khutbah Ibnu Mas’ud dalam hadits di atas bersifat wajib dalam setiap pembukaan kitab atau surat. Dalam hal ini, mereka terkecoh dengan kata “hajat”.
Pendapat ini tentu saja tidak benar, dengan bukti sebagai berikut:
Pertama, surat-surat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang beliau kirim kepada para raja (Kaisar, Kisra, dll) tidak tercantum di dalamnya khutbah semacam ini. Beliau hanya menulis basmalah saja.
Kedua, surat-surat yang dikirm oleh Khulafaurrasyidin juga tidak tercantum di dalamnya khutbah.
Ketiga, kitab-kitab karangan para ulama, baik dari kalangan ahli hadits maupun ahli fikih, juga tidak menyebutkan khutbah ini dalam pembukaannya. Mereka hanya menyebutkan basmalah, hamdalah dan shalawat, tanpa tasyahhud (dua kalimat syahadat) dan tanpa ayat-ayat. Sebagian ulama memang menyebutkan tasyahhud, akan tetapi tidak ada khutbah Ibnu Mas’ud, kecuali hanya dalam kitab Musykilul Aastsaar milik Ath-Thohawi dan beberapa kitab milik Ibnu Taymiyah. Wallahu a’lam bis showab.
[1] Al-Mughni 6/536, Ibn Abidin 2/359, Minahul Jalil 2/5, Ad-Dasuqi 2/216, Mughnil Muhtaj 3/137-138.
[2] Keterangan lebih lanjut silahkan baca artikel berjudul “Khutbah Hajat Bukan Sunnah dalam Pembukaan Kitab dan Karangan” karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (majalah As-Sunnah was Siroh vol. 11, diterbitkan secara khusus oleh Dar Al-Basyair).
HADITS KE-786
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
وَلَهُ شَاهِدٌ : عِنْدَ اَلتِّرْمِذِيِّ , وَالنَّسَائِيِّ ; عَنِ الْمُغِيرَةِ
وَعِنْدَ اِبْنِ مَاجَهْ , وَابْنِ حِبَّانَ : مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadits itu mempunyai saksi dari hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa'i dari al-Mughirah.
Begitu pula riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Muhammad Ibnu Maslamah.
Isnad
Hadits Jabir di atas dishahihkan oleh Hakim sesuai standar Imam Muslim, dan diamini oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi dikritik dari sisi perowi bernama Waqid bin Abdirrahman, dengan alasan bahwa perowi tersebut tidak diketahui (laa yu’rafu).
Jawabnya: Waqid bin Amr, sebagaimana disebutkan dari dua jalur lain pada riwayat Ahmad dan Hakim, adalah seorang tsiqoh. Al-Hafizh berkomentar, “Demikianah dia menurut Imam Syafii dan Abdur Razzak.”
Kedua, terdapat perowi bernama Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Imam Al-Maghazi), dia seorang shaduuq (jujur) tapi mudallis. Sedangkan dalam riwayat tersebut dia mengunakan kata ‘an (dari), dan tidak menerangkan bahwa ia ‘mendengar’.
Jawabnya: hadits tersebut dikuatkan oleh syawahid lainnya. Bahkan sebagiannya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath pun menyatakan bahwa hadits tersebut hasan.
Adapun hadits Mughirah bin Syu’bah, Imam Tirmidzi meng-hasankannya. Redaksinya seperti ini: Ia (Mughirah) mengkhitbah seorang wanita, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Lihatah ia, karena yang demikian itu lebih dapat melanggengkan hubungan kalian berdua.”
Adapun hadits Muhammad bin Maslamah, di dalamnya terdapat Al-Hajjaj bin Arthaah, seorang dhaif mudallis. Seluruh jalurnya tak ada yang selamat dari kritik. Al-Baihaqi berkomentar, “Isnadnya diperselisihkan. Sumbernya adalah Al-Hajjaj bin Arthaah.”
Akan tetapi hadits itu memiliki penguat dari syawahid. Bahkan perowi dari kalangan Sahabat mencapai enam orang.
Hukum
Sejumlah hadits di atas secara jelas menunjukkan perintah kepada orang yang mengkhitbah, atau yang hendak mengkhitbah, untuk melihat calon pasangan yang hendak dikhitbah.
Para ulama bersepakat mengenai disunnahkannya nazhor (melihat calon pasangan) sebelum akad. Alasannya adalah, bahwa perintah tersebut terjadi pada hal-hal yang secara asal dilarang (yaitu melihat bukan mahrom), maka hukum tersebut kembali pada asalnya, yaitu boleh. Akan tetapi berdasarkan hadits Mughirah di atas, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Lihatlah ia, karena hal yang demikian itu lebih dapat melanggengkan hubungan kalian berdua,” maksudnya lebih dapat menjadikan kalian berdua bersepakat, maka hadits tersebut menunjukkan istihbab (sunnah).
Hadits tersebut tidak menyebutkan batasan-batasan dalam nazhor. Mayoritas ulama berpendapat bahwa diperbolehkannya nazhor hanya sebatas pada wajah dan dua telapak tangan saja. Bahkan Ulama Hanabilah membatasi hanya pada wajah saja. Wajah adalah tempat berkumpulnya kecantikan. Sedangkan dua telapak tangan menunjukkan gemuk atau kurusnya badan. Karena pada dasarnya melihat bukan mahrom adalah dilarang kecuali hanya sesuai kebutuhan (hajat), maka kebolehan ini dibatasi oleh hajat tersebut. Maka selain itu hukumnya tetap haram. Wallahu a’lam bis shawab.
HADITS KE-787
وَلِمُسْلِمٍ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ? قَالَ : لَا . قَالَ : اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا )
Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: "Apakah engkau telah melihatnya?" Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: "Pergi dan lihatlah dia."
Penjelasan
Lihat hadits no. 786
HADITS KE-788
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ , حَتَّى يَتْرُكَ اَلْخَاطِبُ قَبْلَهُ , أَوْ يَأْذَنَ لَهُ اَلْخَاطِبُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Hukum
Hadits di atas menunjukkan keharaman meminang (khitbah) pinangan orang lain, yaitu seorang lelaki meminang seorang wanita dan diterima oleh wanita itu, atau diterima wali yang telah diizinkan oleh wanita itu untuk menikahkannya, kemudian datang lelaki lain meminang wanita tersebut. Seperti ini hukumnya haram. Begitu juga jika di antara kedua belah pihak telah terjadi kerukunan (saling suka), atau yang dalam adat kita sering disebut ‘kesepakatan awal’. Adapun jika masih berupa permintaan, dan belum ada persetujuan maka tidaklah mengapa.
Hukum ini disepakati oleh para ulama. Bahkan Imam Nawawi menyatakan bahwa hukum ini mencapai derajat ijma’.
Hikmah diharamkannya khitbah di atas khitbah orang lain adalah demi menjaga ukhuwah dan rasa saling mencintai antar sesama muslim dalam sebuah masyarakat. Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah halal seorang muslim membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaranya. Dan tidak halal pula seorang muslim mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, kecuali jika ia membiarkannya (mengizinkannya).” (HR. Muslim)
Kemudian, kata “saudaranya” dalam hadits di atas menunjukkan kebolehan seorang muslim meminang wanita Ahli Kitab yang telah dipinang oleh seorang laki-laki dzimmi, karena orang kafir tidak termasuk kategori “saudaranya”. Maka tidak ada ukhuwah di antara seorang muslim dan kafir.
Akan tetapi mayoritas ulama, di antaranya Malikiyah dan Syafiiyah, tetap mengharamkan hal semacam itu, karena dapat menyakiti pihak pertama (yaitu dzimmi). Mereka menjawab pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa kata “saudaranya” di sini tidak menunjukkan syarat, tapi kebiasaan, yaitu biasanya seorang muslim mengkhitbah seorang muslimah juga, jadi tidak ada pensyaratan dalam hadits ini.
Sabda beliau, “hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya” menunjukkan dilepaskannya hak pihak pertama yang telah melamar wanita tersebut sehingga pihak kedua boleh melamarnya. Wallahu a’lamu bis shawab.
HADITS KE-789
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَلسَّاعِدِيِّ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي , فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ اَلنَّظَرَ فِيهَا , وَصَوَّبَهُ , ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأْسَهُ , فَلَمَّا رَأَتْ اَلْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ , فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ. فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا. قَالَ : فَهَلْ عِنْدكَ مِنْ شَيْءٍ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ : اِذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ , فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا ? فَذَهَبَ , ثُمَّ رَجَعَ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَذَهَبَ، ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ : لَا وَاَللَّهِ , يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ , وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي - قَالَ سَهْلٌ : مَالُهُ رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ ? إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ فَجَلَسَ اَلرَّجُلُ , وَحَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ ; فَرَآهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُوَلِّيًا , فَأَمَرَ بِهِ , فَدُعِيَ لَهُ , فَلَمَّا جَاءَ. قَالَ : مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ? قَالَ : مَعِي سُورَةُ كَذَا , وَسُورَةُ كَذَا , عَدَّدَهَا فَقَالَ : تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ ? قَالَ : نَعَمْ , قَالَ : اِذْهَبْ , فَقَدَ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( اِنْطَلِقْ , فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا , فَعَلِّمْهَا مِنَ الْقُرْآنِ ) وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( أَمْكَنَّاكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ )
وَلِأَبِي دَاوُدَ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : ( مَا تَحْفَظُ ? قَالَ : سُورَةَ اَلْبَقَرَةِ , وَاَلَّتِي تَلِيهَا. قَالَ : قُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً )
Sahal Ibnu Sa'ad al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang wanita menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian beliau menganggukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: "Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Pergilah ke keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu." Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi." Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai hafalan Qur'an?" Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan itu. Beliau bertanya: "Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?" Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat: Beliau bersabda padanya: "berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur'an." Menurut riwayat Bukhari: "Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur'an yang telah engkau hafal."
Menurut riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu beliau bersabda: "Surat apa yang engkau hafal?". Ia menjawab: Surat al-Baqarah dan sesudahnya. Beliau bersabda: "Berdirilah dan ajarkanlah ia dua puluh ayat." [1]
Studi Matan
“Ada seorang wanita menemui…” dalam kebanyakan riwayat begitulah redaksinya. Dalam riwayat lain, “Berdirilah seorang wanita”, maksudnya ia datang lalu berdiri di antara para jamaah, bukan pada asalnya duduk lalu berdiri.
“Rasulullah memandangnya dengan penuh perhatian dari atas hingga bawah,”. Maksudnya memperhatikan wanita tersebut dengan seksama dari bagian atas hingga bagian bawah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi. Dalam kitab Al-Mufhim, Imam Qurthubi mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memandang wanita tersebut berulang-ulang.
“…kemudian beliau menundukkan kepalanya…”, dalam riwayat lain, “beliau tidak menjawabnya dengan sesuatu apapun”.
Hukum
Dalam hadits Wahibah di atas terdapat hukum-hukum dan faedah-faedah yang sangat banyak. Imam Bukhari dalam Shahihnya membagi hadits tersebut dalam sub judul (tarjamah) yang bermacam-macam. Berikut ini di antaranya:
Kitab Wakalah (perwakilan), bab Seorang Wanita Mewakilkan Imam Dalam Pernikahan.
Kitab Keutamaan Al-Quran, bab “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Quran.” Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam bab tersebut dikarenakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menikahkan wanita tersebut dengan kemuliaan Al-Quran. Sisi lain, keutamaan Al-Quran tampak pada diri seseorang di dunia, sehingga dapat menggantikan posisi harta saat diperlukan. Sedangkan keutamaannya di akhirat tidak perlu diragukan lagi.
Bab Menghafal di Luar Kepala. Ibnu Hajar berkata, “Hal itu tampak pada sabda beliau: “Apakah kau akan mengajarinya dari hafalanmu?”. Ia menjawab: ya. Hal itu menunjukkan keutamaan membaca Al-Quran dari hafalan di luar kepala, karena hal itu lebih memungkinkannya dalam mengajar.
Kitab Nikah, bab Menikahkan Orang yang Kesulitan Sedangkan Ia Memiliki Al-Quran dan Islam. Ibnu Hajar berkata, “Judul tersebut diambil dari sabda beliau: “Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi”. Kemudian lelaki itu mencari namun tidak mendapatkannya. Kendatipun demikian, beliau tetap menikahkannya.”
Bab Seorang Wanita Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Ibnu Hajar berkata, “Di antara keunikan Imam Bukhari adalah ketika mengetahui kekhususan hadits wahibah ini, beliau mengambil hukum dari sesuatu yang tidak ada kekhususannya, yaitu bolehnya seorang wanita menawarkan dirinya sendiri kepada seorang lelaki shalih karena mencintai kesalihannya. Hal itu diperbolehkan.
Bab Melihat Wanita Sebelum Menikah.
Bab Jika Wali Nikah Adalah Pelamar Itu Sendiri. Maksudnya apakah ia boleh menikahkan dirinya sendiri ataukah membutuhkan wali lain.
Bab Penguasa Adalah Wali.
Bab Jika seorang pelamar berkata kepada walinya: “Nikahkan saya dengan si dia”, kemudian wali menjawab: “Saya nikahkan kamu dengan dia dengan mahar sekian dan sekian”, maka pernikahan sah, meskipun si pelamar belum menjawab, “Saya terima atau saya rela.” Imam Bukhari mengambil kesimpulan demikian berdasarkan hadits wahibah di atas. Tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa lelaki tersebut menjawab, “Saya terima.” Bangkitnya lelaki tersebut untuk mencari cincin dari besi adalah bukti penerimaannya.
Bab Menikahkan Dengan Al-Quran dan Tanpa Mahar.
Kitab Pakaian, bab Cincin dari Besi. Beliau (Imam Bukhari) mengambil kesimpulan bahwa memakai cincin dari besi adalah diperbolehkan. Meskipun kesimpulan demikian kurang tepat, karena mencari tidak sama dengan memakai. Boleh mencari belum tentu boleh memakainya.
Kitab Tauhid, Bab “Katakanlah siapakah yang lebih besar kesaksiannya?”
Penjelasan
1. Hukum Menikah Tanpa Mahar
Kata wanita tersebut, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda,” menunjukkan bolehnya menyerahkan urusan pernikahan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Seolah-olah wanita tersebut mengatakan, “Saya menikahi anda tanpa imbalan.”
Hukum ini khusus bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja. Dalilnya firman Allah, “…dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50). Hal ini menjadi ijma’ para ulama.
Adapun menghibahkan nikah kepada selain Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka ada dua macam:
Pertama, bermaksud menghibahkan secara hakiki, yaitu menikah tanpa mahar. Maka nikah semacam ini dianggap bathil (tidak sah), karena hal itu menjadi kekhususan bagi Nabi saja.
Kedua, bermaksud memberikan (hak menikmati) tubuhnya dengan tetap membayar mahar. Di sini terdapat perbedaan pendapat:
Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membolehkan nikah semacam ini, karena kekhususan hanya terletak pada pernikahan tanpa mahar, sedangkan di sini masih ada mahar.
Syafiiyah menganggap pernikahan semacam ini juga bathil karena kata hibah berarti tanpa mahar meskipun diucapkan dengan mahar.
Kesimpulannya, perbedaan pendapat ini kembali pada akar permasalahan di kalangan para fuqoha, yaitu mengenai lafal (redaksi) akad pernikahan.
2. Jenis Mahar
Sabda beliau, “Apakah engkau mempunyai sesuatu?” dan “Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi.” Secara zhahir menunjukkan bahwa benda apapun boleh dijadikan mahar, meskipun nilainya sangat rendah.
Ibnu Hazm berkata, “Mahar boleh berupa apapun selama bisa dinamakan ‘sesuatu’, walaupun hanya sebutir gandum, berdasarkan sabda beliau: Apakah engkau memiliki sesuatu?”
Pendapat ini ditentang oleh para ulama karena dinilai terlalu berlebihan dalam mengecilkan nilai mahar. Mereka berhujjah dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini,” (QS. An-Nisa: 24), dan hadits, “Dan barangsiapa belum mampu (menikah), hendaklah ia berpuasa.”
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa benda yang boleh dijadikan mahar adalah setiap sesuatu yang bisa diperjualbelikan atau disewakan, selainnya tidak boleh.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, benda yang boleh dijadikan mahar tidak boleh kurang dari nishab potong tangan dalam masalah pencurian[2], yaitu sepuluh Dirham menurut Hanafiyah atau seperempat Dinar menurut Malikiyah. Alasannya adalah Al-Quran menegaskan bahwa farj (kemaluan wanita) tidak dihalalkan kecuali dengan imbalan harta yang diperhitungkan, sesuai firman Allah, “(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini.” (QS. An-Nisa: 24), sedangkan jumlah nominal terendah yang diperhitungkan adalah nishab potong tangan dalam masalah pencurian. Itulah pendapat yang diambil oleh kedua mazhab tersebut.
Adapun mengenai hadits di atas, mereka mengatakan bahwa apa yang diminta oleh Rasulullah tersebut bukanlah mahar, melainkan ‘uang muka’, sehingga kewajiban membayar mahar semisal masih tetap dibebankan kepada si suami setelah itu.
Masalah ini adalah masalah khilafiyah yang bisa dirujuk kembali dalam kitab-kitab turats[3].
3. Shighat Akad Nikah
Sabda beliau di akhir hadits, “Aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki,” menunjukkan sahnya akad nikah dengan shighat tamlik (lafal pemberian), baik itu berupa kata menikah, kawin atau sejenisnya. Ini adalah pendapat yang diambil oleh ulama Hanafiyah. Mereka membolehkan shighat akad nikah dengan lafal hibah, sedekah atau lafal-lafal lainnya yang menunjukkan berpindahnya kepemilikan suatu benda secara utuh dari satu orang ke orang lain[4].
Sedangkan ulama Syafiiyah, Hanabilah dan Malikiyah menganggap tidak sah pernikahan yang diucapkan dengan selain lafal nikah, kawin atau turunan katanya saja. Jika diucapkan dengan kedua lafal tersebut maka pernikahan dianggap sah, meskipun tanpa menyebutkan mahar, karena mahar adalah kewajiban yang harus dibayar meskipun tidak disebutkan[5].
Pendapat tersebut disandarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pada khutbah wada’, “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah, dan kalian menghalalkan kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” Yang dimaksud kalimat Allah adalah pernikahan (an-nikah) atau perkawinan (az-zawaj), karena hanya kedua kata itu yang disebutkan dalam Al-Quran, selain itu tidak ada, maka wajib dibatasi sebagai langkah kehati-hatian dalam ibadah.
Adapun berkenaan dengan lafal hadits yang berbunyi, “Aku serahkan wanita itu untukmu,” mereka mengatakan bahwa hadits itu diriwayatkan secara makna saja, tidak letterlik, karena mayoritas riwayat yang lain berbunyi, “Aku nikahkan kamu dengan wanita itu,” atau “Aku kawinkan kamu dengan wanita itu,” padahal kejadiannya hanya sekali saja[6].
4. Hukum Memakai Cincin
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Carilah walaupun hanya sepotong cincin dari besi,” Imam Nawawi berkesimpulan bahwa memakai cincin dari besi adalah diperbolehkan bagi laki-laki. Inilah pendapat ulama Syafiiyah yang dianggap rajih oleh Imam Nawawi.
Pendapat lain dalam mazhab Syafiiyah sebagaimana pendapat Malikiyah dan Hanabilah menyatakan makruhnya memakai cincin dari besi, tembaga atau kuningan[7].
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, cincin yang boleh dipakai hanya berasal dari perak saja. Selainnya tetap haram, seperti emas, batu, besi, kaca dan lain-lain[8].
Seluruh ulama mazhab mengambil hukum tersebut berdasarkan hadits dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada seseorang yang memakai cincin dari logam kuningan, “Mengapa aku mencium darimu bau berhala?”. Beliau juga pernah bersabda kepada seseorang yang memakai cincin dari besi, “Mengapa aku melihat perhiasan penduduk neraka menempel padamu?”[9] (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai)
Akan tetapi terdapat hadits lain yang lebih kuat dari Al-Mu’aiqib, “Dahulu cincin Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berasal dari besi yang dibengkokkan, di atasnya terdapat perak.”[10] (HR. Abu Daud dan Nasai)
Para ulama lain berkomentar terhadap sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Walaupun hanya sepotong cincin dari besi,” bahwa yang dimaksud hadits itu adalah upaya mengecilkan nilai mahar dan memudahkan orang-orang yang kesulitan secara ekonomi sehingga si istri tetap bisa memanfaatkan harga cincin tersebut meskipun sangat rendah, bukan diperbolehkannya memakai cincin[11].
Wallahu a’lamu bis showab.
[1] Bukhari bab “Menikahkan Orang yang Kesulitan” 7/6-7, Muslim bab “Mahar dan Bolehnya Berupa Mengajarkan Al-Quran” 4/143-144, Bukhari bab “Seorang Wanita Menawarkan Dirinya Sendiri Kepada Lelaki Shalih” 7/13, Abu Daud bab “Menikahkan Dengan Amal Diamalkan” 2/236 dari hadits Sahl dan Abu Hurairah, Tirmidzi bab “Mahar Wanita” 3/421, Nasai 6/113, Musnad 5/330, 336.
[2] Nishab potong tangan adalah nilai minimal yang diberlakukan dalam masalah pencurian sehingga setiap pencuri yang mencapai nilai tersebut wajib dipotong tangannya.
[3] Lihat Al-Mufhim 4/129-130, An-Nawawi 9/213, Fathul Bari 9/165, Nailul Authar 6/171-172.
[4] Fathul Qadir dan Al-Hidayah 2/221, Az-Zaila’i ‘alal kanz 2/96-97, Ibn ‘Abidin 2/368.
[5] Ad-Dasuki ala Syarh Al-Kabir 2/221, Minahul Jalil 2/11-12, Mughnil Muhtaj 3/140-141, Al-Mughni 6/533.
[6] Syarah Shahih Muslim milik An-Nawawi 9/214, Ihkamul Ahkam 2/198-199.
[7] Al-Majmu’ 4/344, Al-Adawi 2/412-413, Al-Mughni 8/323.
[8] Ad-Durr 5/314-315.
[9] Abu Daud bab “Cincin dari Besi” 4/90, Tirmidzi akhir bab Pakaian 3/248, Nasai bab Perhiasan 8/175.
[10] Tahdzib Sunan Abi Daud 6/115, At-Taqrib, Al-Majmu’ 3/344, Syarah Muslim 9/213.
[11] Lihat jawaban dan diskusi dalam kitab Ma’alimus Sunan karangan Imam Khattabi 6/115, Hasyiyatul Adawi 2/413, dan lain-lain.
HADITS KE-790
وَعَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ اَلزُّبَيْرِ , عَنْ أَبِيهِ ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( أَعْلِنُوا اَلنِّكَاحَ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sebarkanlah berita pernikahan." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Hakim.
HADITS KE-791
وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ , وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ
وَرَوَى اْلإِمَامُ أَحْمَدُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ ابْنِ الْحُصَيْنِ مَرْفُوْعًا ( لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.
Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu' dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: "Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi."
Takhrij Hadits Secara Global
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.” Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.
Syaikh al-Albaniy berkata, “Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shahîh sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (Tâbi’) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.”
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.
Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata, “Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”
Beberapa Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut
Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut hadits Mutawatir.” Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber. Sedangkan hadits ‘Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).”‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini, maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.
Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang ditimbulkannya.
Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para ulama:
Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafsûkh (batal).
Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh (membatalkan) nya.
Sebab Timbulnya Perbedaan
Sebab timbulnya perbedaan tersebut adalah:
“Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu pernikahan merupakan Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan Allah sehingga pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh (dibatalkan)”,
Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak yang dilimpahkan kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana bilamana mendapatkan persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan (mengizinkan), maka boleh hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka pernikahan itu batal (fasakh).”Perbedaan Para Ulama
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa adanya seorang wali merupakan syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya Tiga Imam Madzhab.
Sementara Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah merupakan syarat.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
Diantara dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan jual beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan dan menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah Qiyâs Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga faktor:
Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal yang diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah merupakan hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang dilakukan dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
Ketiga, bahwa akad terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi seluruh keluarga, bukan hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya ikut andil di dalam proses persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.Dalam hal ini, Abu Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:
Pertama, Terkadang beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang menurutnya terdapat cacat, yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada Sulaiman bin Musa, “Saya tidak mengenal hadits ini.”
Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di dalam teks hadits tersebut dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil Buthlân wa mashîruhu ilaihi.” (Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan berakibat seperti itu).
Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan wanita (Mar`ah) di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang gila atau masih kecil (di bawah umur)…
Dan bantahan-bantahan lainnya yang tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama juga menanggapinya satu per-satu.
Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut
Terhadap Bantahan Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak jalur yang berasal dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy tersebut.
Terhadap Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari sasaran.
Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu amat jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.
Dalil-Dalil Pensyaratan Wali
Diantara dalilnya adalah hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:
a. ‘Aliy al-Madiniy berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh oleh al-Baihaqiy dan para Huffâzh .” Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah Tsiqât.”
b. Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan bersumber dari 30 orang shahabat.
c. Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan hadits Mutawatir.”
Dalil lainnya:
- Bagi siapa yang merenungi kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan padanya seperti perhatian serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak negatif dari pergaulan suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah (kesetaraan), pendeknya pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta mudahnya ia tergiur oleh penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui kegigihan para walinya dan keinginan mereka untuk membahagiakannya serta pandangan kaum lelaki yang biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi hal itu semua, maka tahulah kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali itu.
Manakala kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak), lalu jika ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun thalaq/cerai oleh sang suami.
Sebab, pernikahan yang diperselisihkan hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau Thalaq, berbeda dengan pernikahan Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.
Perbedaan Antara Pernikahan Bâthil Dan Fâsid
- Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama telah bersepakat hukumnya tidak shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi suami yang sudah memiliki empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita kandung dari isteri (padahal saudaranya itu masih shah sebagai isteri)…Pernikahan seperti ini semua disepakati oleh para ulama kebatilannya sehingga tidak perlu proses Fasakh.
- Sedangkan pernikahan Fâsid adalah pernikahan yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai shah nya seperti pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ; Ini semua harus melalui proses Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses Thalaq oleh sang suami.
Bila seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid, maka dia berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad nikah, tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut (dihalalkan farjinya).
Bila seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan budak wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang bertindak menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya, sebab Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki wali.
Perselisihan Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama:
1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang adil secara zhahirnya, sebab hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian yang memerlukan sudut pandang) sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali yang fasiq.
2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu bukan merupakan syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh hukumnya karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn Qudamah), pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Sedangkan dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’diy.
Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih dan yang banyak diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut sekalipun kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan, berdasarkan pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”
Rujukan
- CD al-Mawsû’ah al-Hadîtsiyyah
- Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, Tawdlîh al-Ahkâm, (Mekkah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Haditsah, 1414 H), Cet. 2
- ath-Thahhân, Mahmud, Taysîr Mushtholah al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), Cet.IX
HADITS KE-792
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ أَبُو عَوَانَةَ , وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali." Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Penjelasan
HADITS KE-793
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى تُسْـتَأْذَنَ قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا ? قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-794
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ( اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ , وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ : ( لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ اَلثَّيِّبِ أَمْرٌ, وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ , وَالنَّسَائِيُّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya dan seorang gadis diajak berembuk, dan tanda izinnya adalah diamnya." Riwayat Imam Muslim. Dalam lafaz lain disebutkan, "Tidak ada perintah bagi wali terhadap janda, dan anak yatim harus diajak berembuk." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
HADITS KE-795
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan dirinya." Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
HADITS KE-796
وَعَنْ نَافِعٍ , عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ : ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الشِّغَارِ ; وَالشِّغَارُ: أَنْ يُزَوِّجَ اَلرَّجُلُ اِبْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ اَلْآخَرُ اِبْنَتَهُ , وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاتَّفَقَا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَلَى أَنَّ تَفْسِيرَ اَلشِّغَارِ مِنْ كَلَامِ نَافِعٍ
Nafi' dari Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan puterinya kepada orang lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya kepadanya, dan keduanya tidak menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa penafsiran "Syighar" di atas adalah dari ucapan Nafi'.
HADITS KE-797
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ: أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ , فَخَيَّرَهَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَابْنُ مَاجَهْ , وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang gadis menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bercerita bahwa ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi hak kepadanya untuk memilih. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Ada yang menilainya hadits mursal.
HADITS KE-798
وَعَنْ اَلْحَسَنِ , عَنْ سَمُرَةَ , عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ , فَهِيَ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Dari Hasan, dari Madlmarah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang perempuan yang dinikahkan oleh dua orang wali, ia milik wali pertama." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi.
HADITS KE-799
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ أَوْ أَهْلِهِ , فَهُوَ عَاهِرٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ , وَكَذَلِكَ اِبْنُ حِبَّانَ
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang budak yang menikah tanpa izin dari tuannya atau keluarganya, maka ia dianggap berzina." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
HADITS KE-800
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا يُجْمَعُ بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا , وَلَا بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-801
وَعَنْ عُثْمَانَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَنْكِحُ اَلْمُحْرِمُ , وَلَا يُنْكَحُ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( وَلَا يَخْطُبُ ) وَزَادَ اِبْنُ حِبَّانَ : ( وَلَا يُخْطَبُ عَلَيْهِ )
Dari Utsman Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan." Riwayat Muslim. Dalam riwayatnya yang lain: "Dan tidak boleh melamar." Ibnu Hibban menambahkan: "Dan dilamar."
HADITS KE-802
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( تَزَوَّجَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ : عَنْ مَيْمُونَةَ نَفْسِهَا ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ )
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram.
HADITS KE-803
وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ أَحَقَّ اَلشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ , مَا اِسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اَلْفُرُوجَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Uqbah Ibnu Amir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya syarat yang paling patut dipenuhi ialah syarat yang menghalalkan kemaluan untukmu." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-804
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ : ( رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Salamah Ibnu Al-Akwa' berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberi kelonggaran untuk nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekkah), kemudian bleiau melarangnya. Riwayat Muslim.
HADITS KE-805
وَعَنْ عَلَيٍّ رضي الله عنه قَالَ : ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang nikah mut'ah pada waktu perang khaibar. Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-806
وَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( نَهى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ أَكْلِ الْحُمُرِ اْلأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ ) اخرجه السبعة إلا أبا داود
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menikahi perempuan dengan mut'ah dan memakan keledai negeri pada waktu perang khaibar. Riwayat Imam Tujuh kecuali Abu Dawud.
HADITS KE-807
وَعَنْ رَبِيْعِ ابْنِ سَبُرَةَ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِنِّى كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَالِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُحَلِّ سَبِيْلَهَا وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا أتَيْتُمُوْاهُنَّ شَيْئًا) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَأَبُوْا دَاوُدَ وَالنَّسَائِىُّ وَابْنُ مَاجَهُ وَأَحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Rabi' Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut'ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut'ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya." Riwayat Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
HADITS KE-808
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالنَّسَائِيُّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
وَفِي اَلْبَابِ : عَنْ عَلِيٍّ أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ
Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
Dalam masalah ini ada hadits dari Ali yang diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i.
HADITS KE-809
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَنْكِحُ اَلزَّانِي اَلْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang berzina yang telah dicambuk tidak boleh menikahi kecuali dengan wanita yang seperti dia." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan para perawi yang dapat dipercaya.
HADITS KE-810
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا , قَالَتْ : ( طَلَّقَ رَجُلٌ اِمْرَأَتَهُ ثَلَاثًا , فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ , ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا , فَأَرَادَ زَوْجُهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا , فَسُئِلَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ , فَقَالَ : لَا حَتَّى يَذُوقَ اَلْآخَرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ اَلْأَوَّلُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
'Aisyah .ra berkata: ada seseorang mentalak istrinya tiga kali, lalu wanita itu dinikahi seorang laki-laki. Lelaki itu kemudian menceraikannya sebelum menggaulinya. Ternyata suaminya yang pertama ingin menikahinya kembali. Maka masalah tersebut ditanyakan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: "Tidak boleh, sampai suami yang terakhir merasakan manisnya perempuan itu sebagaimana yang dirasakan oleh suami pertama." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.