HADITS KE-1242
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ اَلْحَسَدَ يَأْكُلُ اَلْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ اَلنَّارُ اَلْحَطَبَ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ
وَلِابْنِ مَاجَهْ: مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ نَحْوُهُ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jauhilah sifat hasad karena hasad itu memakan (pahala) kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." Riwayat Abu Dawud.
Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits serupa dari Anas
HADITS KE-1243
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَيْسَ اَلشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا اَلشَّدِيدُ اَلَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ اَلْغَضَبِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari dia Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-1244
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kedholiman ialah kegelapan pada hari kiamat." Muttafaq Alaihi.
Penjelasan
HADITS KE-1245
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( اِتَّقُوا اَلظُّلْمَ فَإِنَّ اَلظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا اَلشُّحَّ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Jâbir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “berhati-hatilah terhadap kezhaliman, sebab kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat. Dan jauhilah kebakhilan/kekikiran karena kekikiran itu telah mencelakakan umat sebelum kamu”. (H.R.Muslim)
Definisi kezhaliman (azh-Zhulm)
Kata “azh-Zhulm” berasal dari fi’l (kata kerja) “zhalama – yazhlimu” yang berarti “Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Dalam hal ini sepadan dengan kata “al-Jawr”.
Demikian juga definisi yang dinukil oleh Syaikh Ibnu Rajab dari kebanyakan para ulama. Dalam hal ini, ia adalah lawan dari kata al-‘Adl (keadilan)
Hadits diatas dan semisalnya merupakan dalil atas keharaman perbuatan zhalim dan mencakup semua bentuk kezhaliman, yang paling besarnya adalah syirik kepada Allah Ta’âla sebagaimana di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar”.
Di dalam hadits Qudsiy, Allah Ta’âla berfirman: “Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman terhadap diriku dan menjadikannya diharamkan antara kalian”.
Ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar-atsar tentang keharaman perbuatan zhalim dan penjelasan tentang keburukannya banyak sekali.
Oleh karena itu, hadits diatas memperingatkan manusia dari perbuatan zhalim, memerintahkan mereka agar menghindari dan menjauhinya karena akibatnya amat berbahaya, yaitu ia akan menjadi kegelapan yang berlipat di hari Kiamat kelak.
Ketika itu, kaum Mukminin berjalan dengan dipancari oleh sinar keimanan sembari berkata: “Wahai Rabb kami! Sempurnakanlah cahaya bagi kami”. Sedangkan orang-orang yang berbuat zhalim terhadap Rabb mereka dengan perbuatan syirik, terhadap diri mereka dengan perbuatan-perbuatan maksiat atau terhadap selain mereka dengan bertindak sewenang-wenang terhadap darah, harta atau kehormatan mereka; maka mereka itu akan berjalan di tengah kegelapan yang teramat sangat sehingga tidak dapat melihat arah jalan sama sekali.
Klasifikasi Kezhaliman
Syaikh Ibn Rajab berkata: “Kezhaliman terbagi kepada dua jenis: Pertama, kezhaliman seorang hamba terhadap diri sendiri :
Bentuk paling besar dan berbahaya dari jenis ini adalah syirik sebab orang yang berbuat kesyirikan menjadikan makhluk sederajat dengan Khaliq. Dengan demikian, dia telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Jenis berikutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat dengan berbagai macamnya; besar maupun kecil.
Kedua, kezhaliman yang dilakukan oleh seorang hamba terhadap orang lain, baik terkait dengan jiwa, harta atau kehormatan.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda ketika berkhuthbah di haji Wada’ : “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, di bulan haram kalian ini dan di negeri (tanah) haram kalian ini”.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang pernah terzhalimi oleh saudaranya, maka hendaklah memintakan penghalalan (ma’af) atasnya sebelum kebaikan-kebaikannya (kelak) akan diambil (dikurangi); Bila dia tidak memiliki kebaikan, maka kejelekan-kejelekan saudaranya tersebut akan diambil lantas dilimpahkan (diberikan) kepadanya”.
Penyebab terjadinya
Ibnu al-Jauziy menyatakan: “kezhaliman mengandung dua kemaksiatan: mengambil milik orang lain tanpa hak, dan menentang Rabb dengan melanggar ajaran-Nya… Ia juga terjadi akibat kegelapan hati seseorang sebab bila hatinya dipenuhi oleh cahaya hidayah tentu akan mudah mengambil i’tibar (pelajaran)”.
Barangkali, penyebabnya juga dapat dikembalikan kepada definisinya sendiri, yaitu tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama sehingga tidak mengetahui bahwa :
Hal itu amat dilarang bahkan diharamkan
Ketidakadilan akan menyebabkan adanya pihak yang terzhalimi
Orang yang memiliki sifat sombong dan angkuh akan menyepelekan dan merendahkan orang lain serta tidak peduli dengan hak atau perasaannya
Orang yang memiliki sifat serakah selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga membuatnya lupa diri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya
Orang yang memiliki sifat iri dan dengki selalu bercita-cita agar kenikmatan yang dirasakan oleh orang lain segera berakhir atau mencari celah-celah bagaimana menjatuhkan harga diri orang yang didengkinya tersebut dengan cara apapun
Terapinya
Diantara terapinya –wallâhu a’lam- adalah:
Mencari sebab hidayah sehingga hatinya tidak gelap lagi dan mudah mengambil pelajaran
Mengetahui bahaya dan akibat dari perbuatan tersebut baik di dunia maupun di akhirat dengan belajar ilmu agama
Meminta ma’af dan penghalalan kepada orang yang bersangkutan selagi masih hidup, bila hal ini tidak menimbulkan akibat yang lebih fatal seperti dia akan lebih marah dan tidak pernah mau menerima, dst. Maka sebagai gantinya, menurut ulama, adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya
Membaca riwayat-riwayat hidup dari orang-orang yang berbuat zhalim sebagai pelajaran dan i’tibar sebab kebanyakan kisah-kisah, terutama di dalam al-Qur’an yang harus kita ambil pelajarannya adalah mereka yang berbuat zhalim, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain.
Kikir/Bakhil
Hadits tersebut (hadits kedua) memberikan peringatan terhadap perbuatan kikir dan bakhil karena merupakan sebab binasanya umat-umat terdahulu. Ketamakan terhadap harta menggiring mereka bertindak sewenang-wenang terhadap harta orang lain sehingga terjadilah banyak peperangan dan fitnah yang berakibat kebinasaan mereka dan penghalalan terhadap isteri-isteri mereka. Kebinasaan seperti ini baru mereka alami di dunia .
Belum lagi di akhirat dimana tindakan sewenang-wenang terhadap harta orang lain, terhadap isteri-isterinya dan menumpahkan darahnya merupakan kezhaliman yang paling besar dan dosa yang teramat besar. Perbuatan-perbuatan maksiat inilah yang merupakan sebab kebinasaan di akhirat dan mendapat azab neraka.
Diantara Nash-Nash Yang Mencelanya
Banyak sekali nash-nash yang mencela dan mengecam perbuatan kikir/bakhil, diantaranya:
Firman Allah Ta’âla: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q,.s.al-Hasyr/59: 9)
Firman Allah Ta’âla : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q,.s. Âli ‘Imrân/03: 180)]
Firman Allah Ta’âla : “Dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri…”. (Q,.s. Muhammad/47: 38)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad dan Imam at-Turmuzy di dalam kitabnya dari hadits Abu Bakar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak masuk surga seorang yang bakhil”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmuzy dan an-Nasâ-iy dari hadits Abu Dzar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah membenci tiga (orang): (1) orang yang sudah tua tetapi berzina, (2) orang yang bakhil/kikir yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya, (3) dan orang yang musbil (memanjangkan pakaiannya hingga melewati mata kaki) yang sombong”.
Penyebab timbulnya
Sifat Bakhil merupakan penyakit yang disebabkan oleh dua hal:
Pertama, cinta terhadap hawa nafsu yang sarananya adalah harta.
Kedua, cinta terhadap harta yang diakibatkan oleh hawa nafsu, kemudian hawa nafsu dan semua hajatnya tersebut terlupakan sehingga harta itu sendiri yang menjadi kekasih yang dicintainya.
Terapinya
Terapi yang dapat memadamkan hawa nafsu tersebut diantaranya:
Merasa puas dengan hidup yang serba sedikit
Bersabar dan mengetahui secara yakin bahwasanya Allah Ta’âla adalah Maha Pemberi rizki
Merenungi akibat dari perbuatan bakhil di dunia sebab tentu ada penyakit-penyakit yang sudah mengakar pada diri penghimpun harta sehingga tidak peduli dengan apapun yang terjadi terhadap dirinya.
Klasifikasi Prilaku Manusia Di Dunia
Prilaku manusia di dunia ini terdiri dari tiga klasifikasi:
Boros
Taqshîr (Mengurang-ngurangi) alias Bakhil
Ekonomis (berhemat/sedang-sedang saja)
Klasifikasi pertama dan kedua merupakan prilaku tercela sedangkan klasifikasi ketiga adalah prilaku terpuji.
Klasifikasi pertama, Boros (isrâf) adalah tindakan yang berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta baik yang bersifat dibolehkan ataupun yang bersifat diharamkan; ini semua adalah keborosan yang amat dibenci.
Klasifikasi kedua, Taqshîr (mengurang-ngurangi) alias bakhil; orang yang bersifat seperti ini suka mengurang-ngurangi pengeluaran baik yang bersifat wajib ataupun yang dianjurkan yang sesungguhnya sesuai dengan tuntutan ‘murû-ah’ (harga diri).
Klasifikasi ketiga, ekonomis dan sistematis; orang yang bersifat seperti ini di dalam membelanjakan harta yang bersifat wajib yang terkait dengan hak-hak Allah dan makhluk melakukannya dengan sebaik-baiknya; apakah itu pengeluaran-pengeluaran biasa ataupun utang piutang yang wajib. Demikian pula, melakukan dengan sebaik-baiknya pengeluaran yang bersifat dianjurkan yang sesuai dengan tuntutan ‘murû-ah’ (harga diri). Allah Ta’âla berfirman: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (Q,s.al-Furqân/25: 67)
Inilah yang merupakan salah satu kriteria dari sifat-sifat yang dimiliki oleh ‘Ibâd ar-Rahmân (hamba-hamba Allah).Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA:
‘Abdul Bâqy, Muhammad Fuâd, al-Mu’jam al-Mufahris Li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm
Mausû’ah al-Hadîts asy-Syarîf (CD)
al-Bassâm, ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân, Taudlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, (Mekkah al-Mukarramah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Hadîtsah, 1414 H), Cet. II
ad-Dimasyqiy, al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh, Zainuddîn, Abi al-Faraj, ‘Abdurrahmân bin Syihâbuddîn al-Baghdâdiy, Ibnu Rajab, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam fî Syarh Khamsîna Hadîtsan Min Jawâmi’ al-Kalim, (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1412 H), Cet. III, Juz. II
ar-Râziy, Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdul Qâdir, Mukhtâr ash-Shihâh, (Lebanon: al-Markaz al-‘Arabiy Li ats-Tsaqâfah wa al-‘Ulûm, tth)
ad-Dimasyqiy, Abu al-Fidâ’, Ismâ’il bin Katsîr al-Qurasyiy, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Riyadl: Maktabah Dâr as-Salâm, 1414 H), Cet. I, Juz. VII
al-Jazâ-iry, Abu Bakar, Jâbir, asy-Syaikh, Minhâj al-Muslim, (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1419 H), Cet. VI
HADITS KE-1246
وَعَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشِّرْكُ اَلْأَصْغَرُ اَلرِّيَاءُ ) أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ حَسَنٍ
Dari Mahmud Ibnu Labid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya hal yang paling aku takuti menimpamu ialah syirik kecil: yaitu riya." Riwayat Ahmad dengan sanad hasan.
HADITS KE-1247
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( آيَةُ اَلْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
وَلَهُمَا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ ( وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ )
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tanda-tanda orang munafiq itu tiga; bila berkata ia bohong bila berjanji ia mengingkari dan bila dipercaya ia mengkhianati." Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Bukhari-Muslim dari hadits Abdullah Ibnu Umar: "Bila membantah ia melewati batas."
Pelajaran Hadits
1. Definisi Nifaq
Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara bahasa merupakan jenis penipuan, makar, menampakkan kebaikan dan memendam kebalikannya.
Secara syari’at terbagi dua: Pertama, Nifaq Akbar (Kemunafikan Besar); yaitu upaya seseorang menampakkan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam lawan dari itu semua atau sebagiannya. Inilah bentuk nifaq (kemunafikan) yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan yang dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an. Rasulullah SAW menginformasikan bahwa pelakunya kelak akan menempati neraka paling bawah.
Kedua, Nifaq Ashghar (Kemunafikan Kecil); yaitu kemunafikan dalam perbuatan. Gambarannya, seseorang menampakkan secara teranga-terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang berlawanan dengan itu.
2. Pokok-Pokok Nifaq
Pokok-pokoknya kembali kepada beberapa sifat yang disebutkan dalam hadits-hadits (yang disebutkan Ibn Rajab dalam syarah Arba’in, termasuk hadits yang kita kaji ini), di antaranya:
1. Seseorang berbicara mengenai sesuatu yang dibenarkan orang lain padahal ia berdusta. Nabi SAW bersabda dalam kitab al-Musnad karya Imam Ahmad, “Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada saudaramu dengan suatu pembicaraan di mana ia membenarkanmu namun kamu berdusta kepadanya.”
2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini terbagi kepada dua jenis: Pertama, seseorang berjanji padahal di dalam niatannya tidak ingin menepatinya. Ini merupakan pekerti paling buruk.
Kedua, Berjanji pada dirinya untuk menepati janji, kemudian timbul sesuatu, lalu mengingkarinya tanpa alasan. Dalam hadits yang dikeluarkan Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Bila seorang laki-laki berjanji dan berniat menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).”
3. Bila berseteru, ia berbuat fajir. Makna fujur adalah keluar dari kebenaran secara sengaja sehingga kebenaran ini menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan dusta sebagaimana sabda Nabi SAW, “Berhati-hatilah terhadap kedustaan, sebab kedustaan dapat menggiring kepada ke-fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya laki-laki yang paling dibenci Allah adalah yang paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang berseteru dalam kebatilan padahal ia mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam kemurkaan Allah hingga menghadapi sakaratul maut.” Di dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang membantu dalam perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah.”
4. Bila berjanji, ia mengkhianati (mengingkari) dan tidak menepatinya. Padahal Allah SWT menyuruh agar menepati janji seraya berfirman, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya.” (QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-Nya, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91)
Di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap pengkhianat akan memiliki panji pengenal pada hari kiamat, lalu dikatakan; inilah pengkhianatan si fulan.”
Mengkhianati setiap perjanjian yang terjadi antara seorang Muslim dan orang lain haram hukumnya sekali pun orang yang diajak berjanji itu adalah seorang kafir.
Oleh karena itu, di dalam riwayat al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Siapa yang membunuh jiwa yang diberi perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya terasa dari jarak perjalanan 40 tahun.”
Tentunya, perjanjian yang terjadi di antara sesama Muslim, harus lebih ditepati lagi dan membatalkannya merupakan dosa besar. Bentuk dosa paling besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan imam (pemimpin negara Islam) yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti dan sudah rela terhadapnya.
Di dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat azab yang pedih…” Di dalam hadits ini, beliau SAW menyebutkan salah satu dari mereka, yaitu seorang laki-laki yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya hanya karena dunia; jika ia (sang imam) memberinya sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka ia menepatinya dan bila tidak, maka ia tidak pernah menepatinya.”
Termasuk dalam janji yang wajib ditepati dan haram dikhianati adalah seluruh akad seperti jual beli, pernikahan dan akad-akad lazim yang wajib ditepati, yang terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya. Demikian pula, sesuatu yang wajib ditepati karena Allah SWT dari perjanjian hamba dengan Rabbnya seperti nadzar berbuat kebajikan dan semisalnya.
5. Bila diberi amanah, ia berkhianat. Bila seseorang diberi amanah, maka ia wajib mengembalikannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS.an-Nisa’/4:58)
At-Turmudzi dan Abu Daud mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang beramanah kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu.”
Khianat terhadap amanah merupakan salah satu sifat munafik sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh.[75] Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).[76]Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.[77]” (QS.at-Taubah/9:75-77)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung…..” (QS.al-Ahzab/33:72)
Pokoknya, semua Nifaq Ashghar terpulang kepada adanya perbedaan antara perkara tersembunyi (bathiniah) dan terang-terangan (lahiriah). Al-Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata, ‘Kekhusyu’an nifaq hanya terlihat pada kehusyu’an raga sedangkan hatinya tidak pernah khusyu’.”
‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau kemungkaran.”
Nifaq Ashghar merupakan sarana melakukan Nifaq Akbar sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan maksiat adalah merupakan ‘kotak pos’ kekufuran.
Bentuk sifat nifaq ‘amali (praktis) yang paling besar adalah manakala seseorang melakukan suatu perbuatan, tampak berniat baik namun ia melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk. Dengan tipuan itu, ia lantas mencapai tujuannya, bergembira dengan makar dan tipuannya sementara orang-orang memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang membuatnya sampai kepada tujuan buruk yang dipendamnya itu.
Manakala di kalangan shahabat telah ditetapkan bahwa nifaq adalah adanya perbedaan antara perkara tersembunyi dan terang-terangan, maka sebagian mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi, kekhusyu’an dan kelembutannya ketika mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an) dengan menoleh dunia dan sibuk dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua akan menjadi salah satu bentuk kemunafikan dari mereka. Karena itu, Rasulullah SAW sampai berkata kepada mereka, “Hal itu bukan termasuk kemunafikan.”
3. Perbedaan Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menepati janji dalam 3 pendapat:
PERTAMA, Menepati janji hukumnya Mustahab (dianjurkan), bukan wajib, baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalah pendapat Jumhur ulama, yaitu tiga imam madzhab; Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad.
Al-Hafizh Ibn Hajar RAH berkata, “Meriwayatkan hal itu sebagai ijma’ tidak dapat diterima (ditolak) sebab perbedaan mengenainya amat masyhur akan tetapi yang mengatakan demikian sedikit.
Mereka berdalil dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Hadits yang dikeluarkan Ibn Majah dan Abu Daud (yang menilainya Hasan), bahwasanya nabi SAW bersabda, “Bila salah seorang di antara kamu berjanji kepada saudaranya sementara di dalam niatnya akan menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak ada dosa baginya.”
2. Bila seorang laki-laki berjanji, bersumpah dan ber-istitsna’ (bersumpah dengan menggunakan kata; insya Allah setelah sumpah tersebut), maka menurut nash dan ijma’ pelanggaran terhadap sumpahnya telah gugur (tidak dinilai melanggar sumpah). Ini merupakan dalil gugurnya janji dari penjanji tersebut.
KE-DUA, Tidak harus menepati janji baik dari aspek keagamaan mau pun penunaian. Ini adalah pendapat Ibn Syubrumah, yaitu madzhab sebagian ulama Salaf seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashori, Ishaq bin Rahawaih dan Zhahiriah.
Pendapat ini berdalil dengan nash-nash dari al-Qur’an dan hadits, di antaranya:
1. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad* itu.” (QS.al-Maa’idah:1) Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.ash-Shaff:3-4), dan ayat-ayat lainnya.
2. Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tanda orang munafiq ada tiga…” Di antaranya disebutkan: bila berjanji, ia berdusta. Dengan begitu, mengingkari perjanjjan merupakan salah satu sifat orang-orang munafik sehingga ia diharamkan.
3. Hadits yang dikeluarkan at-Turmudzi, bahwa nabi SAW bersabda, “Jangan berdebat dengan saudaramu, jangan mencandainya dan berjanji padanya lalu kemudian kamu mengingkari (melanggar)nya.”
KE-TIGA, Merinci; wajib menepatinya bila janji tersebut ada sebabnya seperti bila ia diperintahkan melakukan pembelian barang atau melakukan suatu proyek; bila orang yang diberi janji melakukan tindakan kesalahan, maka penjanji boleh menarik janjinya. Dalam hal ini, wajib memenuhi janji secara keagamaan mau pun penunaian.
Ada pun bila tidak terjadi hal yang merugikan terhadap orang yang diberi janji dengan ditariknya janji tersebut, maka janji itu tidak lagi menjadi keharusan.
Dalil Pendapat Ini:
Bahwa nash-nash syari’at dalam masalah ini saling bertabrakan. Dan apa yang disebutkan di atas adalah cara penggabungan (sinkronisasi) paling baik.
Pendapat Syaikh asy-Syanqithi
Pengarang tafsir “Adhwaa’ al-Bayaan” di dalam tafsirnya mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan menepati janji; sebagian mereka mengatakan, harus memenuhinya secara mutlak. Sebagian lagi mengatakan, tidak harus secara mutlak. Sedangkan sebagian yang lain, bila dengan berjanji itu membuat orang yang diberi janji berada dalam kesulitan (bahaya), maka harus memenuhinya tetapi bila tidak demikian, maka menjadi tidak harus lagi.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, imam al-Awza’i dan asy-Syafi’i serta seluruh ulama fiqih mengatakan, sesungguhnya tidak ada keharusan apa pun terhadap janji sebab ia hanya merupakan jasa yang tidak berada dalam pegangan, sama seperti masalah ‘Ariyah** yang bersifat dadakan.
Pendapat yang jelas bagiku, bahwa mengingkari janji tidak boleh sebab ia merupakan salah satu tanda kemunafikan akan tetapi bila penjanji menolak untuk memenuhi janjinya, maka tidak dapat dituntut hukuman apa pun terhadapnya dan tidak harus dipaksa pula. Tetapi ia mesti diperintahkan untuk memenuhinya, tidak dipaksa.”
Pendapat Ulama Kontemporer
Di antara ulama kontemporer yang menyatakan keharusan memenuhi janji adalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Abdurrahman bin Qasim, Mushthafa az-Zarqa’, Yusuf al-Qaradhawi dan ulama lainnya.
Keputusan Mujamma’ Fiqih Islam
Mujamma’ Fiqih Islam di Jeddah dalam keputusan bernomor 2, pada daurah ke-5 yang diadakan di Kuwait periode 1-6 Jumadal Ula 1409 H memutuskan sebagai berikut:
“Menepati janji menjadi suatu keharusan bagi penjanji secara keagamaan kecuali bila ada ‘udzur. Ia harus memenuhinya dari sisi penunaian bila terkait dengan sebab dan orang yang diberi janji menghadapi kesulitan akibat janji tersebut. Pengaruh komitmen terhadap kondisi ini dapat dilakukan, baik dengan cara melaksanakan janji tersebut atau mengganti kerugian yang timbul secara langsung akibat tidak dipenuhinya janji tersebut tanpa ‘udzur.”
CATATAN:
* Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah SSWT dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam perjanjian sesamanya
** Ulama fiqih mendefinisikannya, ‘Tindakan pemilik barang yang membolehkan penggunaan barang miliknya kepada orang lain tanpa kompensasi apa pun.’ [Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah-red]
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.VI, hal.311-314)
HADITS KE-1248
وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( سِبَابُ اَلْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Memaki orang muslim adalah kedurhakaan dan membunuhnya adalah kekufuran." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-1249
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ اَلظَّنَّ أَكْذَبُ اَلْحَدِيثِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk sebab prasangka buruk adalah ucapan yang paling bohong." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-1250
وَعَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اَللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Ma'qil Ibnu Yasar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat lalu ia mati pada hari kematiannya ketika ia menipu rakyatnya Allah pasti akan mengharamkannya masuk surga." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-1251
وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ya Allah barangsiapa menguasai salah satu urusan umatku lalu menyusahkan mereka maka berilah kesusahan padanya." Riwayat Muslim.
HADITS KE-1252
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَجَنَّبِ اَلْوَجْهَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu berkelahi hendaknya ia menghindari wajah." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-1253
وَعَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَوْصِنِي فَقَالَ: لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah berilah aku nasehat. Beliau bersabda: "Jangan marah." Lalu orang itu mengulangi beberapa kali dan beliau bersabda: "Jangan marah." Riwayat Bukhari.
HADITS KE-1254
وَعَنْ خَوْلَةَ اَلْأَنْصَارِيَّةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ رِجَالاً يتخوَّضون فِي مَالِ اَللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ اَلنَّارُ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Khoulah al-Anshoriyyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang menggunakan harta Allah dengan cara tidak benar bagi mereka adalah neraka pada hari kiamat." Riwayat Bukhari.
HADITS KE-1255
وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-- فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ- قَالَ: ( يَا عِبَادِي! إِنِّي حَرَّمْتُ اَلظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَّالَمُوا ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Tuhannya -Dia berfirman: "Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku telah mengharamkan diri-Ku dari kedholiman dan Aku telah mengharamkannya kepadamu oleh karena itu janganlah saling berbuat dholim." Riwayat Muslim.
HADITS KE-1256
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( أَتَدْرُونَ مَا اَلْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اَللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ: أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اِغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتَّهُ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tahukah kalian apa itu ghibah." Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: "Yaitu engkau menceritakan saudaramu apa yang tidak ia suka." Ada yang bertanya: Bagaimana jika apa yang aku katakan benar-benar ada pada saudaraku?. Beliau menjawab: "Jika padanya memang ada apa yang engkau katakan maka engkau telah mengumpatnya dan jika tidak ada maka engkau telah membuat kebohongan atasnya." Riwayat Muslim.
HADITS KE-1257
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، اْلمُسْلِمُ أَخُو اْلمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ اْلمُسْلِمَ كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى اْلمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ. أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu, ia mengatakan, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, 'Jangan saling dengki, jangan tanajusy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jangan pula sebagian kalian menjual di atas jual beli sebagian yang lain, serta jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh menzhaliminya, tidak membiarkannya (tanpa memberikan pertolongan), tidak berbohong kepadanya dan tidak memperhinakannya. Takwa itu ada di sini -seraya menunjuk ke hatinya tiga kali-. Cukuplah bagi seseorang suatu keburukan bila ia menghina sauda-ranya seislam. Setiap muslim itu haram: darah, harta dan kehormatan-nya." (HR. Muslim, no. 2564).
SYARAH
Imam an-Nawawi berkata:
Sabdanya, "Janganlah saling dengki." Telah disebutkan bahwa kedengkian itu ada tiga macam.* Tanajusy pada asalnya ialah naik dan lebih, yaitu menambah (menawar tinggi) pada harga suatu barang untuk menipu orang lain, dan ini adalah haram, karena ini penipuan.
Sabdanya, "Jangan saling membelakangi." Yakni, janganlah se-orang dari kalian mengucilkan saudaranya. Jika ia melihatnya, maka ia membelakanginya, memperlihatkan punggungnya. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هذَا وَيُعْرِضُ هذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ.
"Tidak halal bagi seorang muslim mengucilkan saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu lalu ini berpaling dan yang ini berpa-ling, dan yang terbaik dari keduanya ialah yang memulai dengan salam."**
Menjual di atas jual beli saudaranya, gambaran (realistisnya) adalah bahwa seseorang menjual sesuatu, lalu ia menyuruh si pembeli membatalkannya agar dia yang menjual kepadanya barang yang sama atau yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah dari harga (per-tama) tadi. Dan membeli sesuatu yang sudah dibeli (ditawar) orang lain adalah haram, yaitu menyuruh penjual supaya membatalkan transaksi agar ia bisa membeli darinya (walaupun) dengan harga yang lebih mahal. Demikian pula diharamkan menawar barang yang sudah ditawar saudaranya. Semua ini masuk dalam kategori hadits ini karena mengarah satu makna, yaitu saling benci dan membelakangi.
Pembatasan larangan membeli barang yang sudah dibeli saudaranya menunjukkan bahwa hal itu tidak diharamkan atas penjualan orang kafir, ini menurut pandangan Ibnu Khalawaih. Yang benar tiada bedanya, karena ini termasuk memenuhi hak perlindungan dan perjanjian.
Sabdanya, "Takwa itu di sini," seraya mengisyaratkan tangannya ke dadanya, maksudnya ialah hati. Telah disebutkan sabdanya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Ketahuilah bahwa dalam tubuh itu terdapat segumpal daging; jika baik, maka menjadi baiklah tubuh seluruhnya." (Hadits).
Sabdanya, "Ia tidak boleh membiarkannya (tanpa memberikan per-tolongan)." Yakni, ketika menyuruh yang ma'ruf, mencegah yang mungkar, atau ketika menuntut suatu hak. Tetapi ia harus membelanya, menolongnya, dan menolak gangguan darinya menurut kemampuannya.
"Ia tidak boleh memperhinakannya." Yakni, ia tidak boleh menghukumi dirinya bahwa ia lebih baik daripada orang lain, tetapi ia menghukumi atas orang lain bahwa dia lebih baik daripadanya, atau tidak menghukumi suatu apa pun. Karena hasil akhir itu rahasia dan hamba tidak tahu amalan apa yang akan menutup kehidupannya. Jika ia melihat seorang muslim yang masih belia, ia menghukumi bahwa ia lebih baik daripadanya, berdasarkan pertimbangan bahwa ia lebih sedikit dosanya daripadanya dalam Islam. Jika ia melihat orang yang lebih tua usianya, maka ia menghukumi bahwa ia lebih baik daripadanya, dengan pertimbangan bahwa ia lebih dahulu berhijrah daripadanya dalam Islam. Jika ia melihat orang kafir, ia tidak memutuskan untuknya dengan neraka, karena bisa jadi bahwa ia akan masuk Islam lalu mati dalam keadaan muslim.
Sabdanya, "Cukuplah bagi seseorang suatu keburukan." Yakni, sudah cukup baginya suatu keburukan bila ia menghina saudaranya, bahwasanya ini adalah keburukan besar yang sudah memadai bagi pelakunya untuk mendapatkan hukuman dosa ini.
Sabdanya, "Setiap muslim…" (Hadits). Beliau bersabda dalam haji wada',
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فيِ شَهْرِكُمْ هذَا فيِ بَلَدِكُمْ هذَا.
"Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini."
Al-Karabisi berargumen dengan hadits ini bahwa menggunjing dan mengusik kehormatan kaum muslimin adalah dosa besar, baik karena diiringkannya dengan darah dan harta, maupun karena diseru-pakan dengan sabdanya, "Seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini." Allah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memberi ancaman dengan adzab yang pedih atasnya, dengan firmanNya, "Dan siapa yang bermaksud di dalamnya malakukan kejahatan se-cara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih." (Al-Hajj: 25).
Imam Ibnu Daqiq berkata:
Sabdanya, "Jangan saling dengki." Hasad atau dengki ialah ber-harap hilangnya kenikmatan (dari orang lain), dan ini haram. Dalam hadits lain disebutkan,
إِيَّاكُمْ وَاْلحَسَدَ، فَإِنَّ اْلحَسَدَ يَأْكُلُ اْلحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ اْلحَطَبَ أَوِ اْلخَشَبَ.
"Janganlah kamu dengki, karena kedengkian akan memakan kebajikan-kebajikan sebagaimana api melahap kayu bakar atau kayu." ***
Adapun Ghibthah ialah berharap seperti kondisi orang orang yang dia irikan dengan tanpa menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut dari orang lain. Kadangkala istilah hasad diletakkan pada tempat Ghibthah karena kemiripan keduanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Tiada hasad kecuali dalam dua perkara." Maksudnya, tiada ghibthah.
Sabdanya, "Jangan saling tanajusy." Najsy pada asalnya ialah tipuan. Darinya dinyatakan untuk orang yang berburu: Najisy, karena ia menipu buruan dan menjebaknya.
Sabdanya, "Jangan saling membenci." Yakni, jangan saling melakukan hal-hal yang menyebabkan permusuhan. Karena cinta dan benci adalah esensi hati yang tidak ada kemampuan bagi manusia untuk mengusahakannya dan tidak punya kuasa untuk mengendali-kannya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
هذَا قَسْمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تُؤَاخِذْنيِ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ.
"Ini pembagianku dalam apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau menghukumku dalam perkara yang Engkau miliki sedang aku tidak memilikinya." **** Yakni, cinta dan kebencian.
Tadabur ialah saling memusuhi. Konon, saling memutuskan. Karena masing-masing membelakangi sahabatnya.
Sabdanya, "Jangan sebagian kalian menjual atas jual beli saudaranya." Artinya, ia mengatakan kepada orang yang membeli suatu barang dalam masa khiyar, "Batalkan jual beli ini. Aku akan menjual kepada-mu yang sama sepertinya, atau lebih baik harganya." Atau penjual dan pembeli telah menyepakati suatu harga di antara keduanya dan kedua-nya sudah rela dengannya, hanya tinggal akadnya saja, maka ia mem-beri tambahan (tawaran tinggi) kepada penjual atau memberi tawaran barang dengan (harga) yang lebih rendah kepada pembeli. Ini haram, apalagi harga sudah disepakati. Adapun sebelum ridha, maka tidak haram.
"Jadilah hamba Allah yang bersaudara." Artinya, perlakukan dan pergaulilah sebagaimana saudara, serta mempergauli mereka dengan kasih sayang, lemah lembut, belas kasih, kelembutan, dan tolong menolong dalam kebajikan, disertai kejernihan hati dan nasihat di setiap saat.
Sabdanya, "Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (tanpa memberikan pertolongan) dan memperhinakannya."
Al-Khadzlan ialah tidak memberikan pertolongan. Artinya, jika saudaranya meminta pertolongan kepadanya untuk menolak orang yang zhalim dan sejenisnya, maka ia wajib menolongnya, jika ia mam-pu dan tidak mempunyai udzur syar'i.
Sabdanya, "Ia tidak boleh memperhinakannya." Yakni, ia tidak boleh congkak terhadapnya dan meremehkannya.
Al-Qadhi Iyadh mengatakan, "Sebagian dari mereka meriwayatkannya dengan dhammah ya', dengan kha', dan dengan fa', (yukhfiruhu) artinya, tidak mengkhianati janjinya dan tidak mengurangi imannya. Tapi yang benar lagi dikenal ialah yang pertama (yahqiruhu).
Sabdanya, "Takwa itu ada di sini—seraya menunjuk ke hatinya tiga kali—." Dalam sebuah riwayat, "Sesungguhnya Allah tidak melihat pada tubuhmu dan tidak pula pada rupamu, tetapi Dia melihat pada hatimu." Artinya, amalan-amalan zhahir tidak bisa menghasilkan takwa. Sesungguhnya takwa itu hanyalah terletak pada apa yang ada dalam hati berupa kebesaran Allah, rasa takut kepadaNya dan merasa diawasi olehNya. Pandangan Allah q, PenglihatanNya meliputi segala sesuatu. Makna hadits ini—wallahu a'lam—ialah balasanNya dan perhitungan-Nya, serta bahwa pertimbangan dalam semua ini adalah dengan hati.
Sabdanya,
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ اْلمُسْلِمَ
"Cukuplah bagi seseorang suatu keburukan bila ia menghina saudaranya seislam."
Dalam kalimat ini berisi peringatan keras terhadap hal itu; karena Allah q tidak menghinakannya ketika menciptakan dan membe-rinya rizki, kemudian menyempurnakan penciptaan makhluknya, dan menundukkan segala yang ada di langit dan segala yang ada dibumi untuknya. Jika semua itu untuknya dan untuk selainnya, maka Dia memiliki bagian dari hal itu. Kemudian Allah SWT menamakannya sebagai muslim, mukmin dan hamba. Bahkan Dia mengutus Rasul dariNya kepadanya yaitu Muhammad. Oleh karena itu, barangsiapa yang menghina seorang muslim maka ia telah menghina apa yang dimuliakan olah Allah SWT, dan cukuplah itu sebagai peng-hinaan. Salah satu penghinaan seorang muslim terhadap muslim lainnya ialah tidak mengucapkan salam kepadanya ketika melewatinya, dan tidak menjawab salam kepadanya ketika memulai salam kepadanya. Contoh lainnya, ia menganggapnya bukan sebagai orang yang akan dimasukkan Allah ke dalam surga, atau dijauhkanNya dari neraka.
Adapun celaan (teguran) yang dilakukan orang yang berakal terhadap orang yang bodoh, dan orang yang adil terhadap orang yang fasik, maka itu bukan penghinaan kepada seorang muslim. Tetapi karena orang bodoh ini bersifatkan dengan kebodohan dan orang yang fasik bersifatkan dengan kefasikan. Kapan saja orang bodoh dan fasik tersebut meninggalkan hal itu, maka ia kembali bersikap ramah kepadanya dan memuliakan harkatnya.
Syaikh as-Sa'di berkata:
Sabdanya, "Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara." Kaum mukminin harus saling mencintai dan menyayangi, tidak boleh saling membenci dan memusuhi. Mereka semua berusaha untuk kemaslahatan mereka secara umum yang menjadi pilar agama dan dunia mereka. Orang yang terpandang tidak boleh berlaku congkak atas orang bawahan, dan tidak pula seseorang dari mereka merendahkan yang lainnya, karena darah mereka setara. Sebab, itu tidak disyaratkan dalam qishash kecuali kesetaraan dalam agama. Oleh karena itu seorang muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir, sebagai-mana dalam hadits, dan kesetaraan dalam kemerdekaan. Oleh karena itu orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh hamba sahaya.
Adapun kriteria-kriteria lainnya maka kaum muslimin itu sama. Barangsiapa yang membunuh atau memotong bagian tubuh secara sengaja lagi zhalim, maka mereka berhak menuntut balas (Qishash) kepadanya dengan syarat sepadan dalam hal anggota badan. Tiada bedanya antara yang muda dengan yang dewasa atau sebaliknya, pria dengan wanita dan sebaliknya, orang pintar dengan orang bodoh, orang terpandang dengan orang bawahan, orang yang sempurna dengan orang yang cacat, atau sebaliknya dalam perkara-perkara ini.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
Sabdanya, "Jangan saling dengki. " Ini larangan terhadap kedengkian. Hasad ialah tidak menyukai apa yang dikaruniakan Allah kepada saudaramu berupa kenikmatan ukhrawi atau duniawi, baik kamu berharap hilangnya kenikmatan tersebut atau tidak berharap. Selama kamu tidak menyukai apa yang dikaruniakan Allah kepada saudaramu berupa kenikmatan, maka ini adalah hasad.
"Jangan tanajusy." Menurut para ulama, munajasyah ialah menambah pada barang dagangan. Yakni, pada harganya dalam pele-langan, sementara ia tidak berkeinginan untuk membelinya. Ia hanya ingin memberikan keuntungan kepada penjual atau merugikan pembeli.
"Jangan saling membenci." Yakni, janganlah kalian membenci satu sama lain.
"Jangan saling membelakangi." Yaitu, satu sama lain saling membelakangi, dengan cara tidak saling berhadapan.
"Jangan pula sebagian dari kalian menjual di atas jual beli sebagian yang lain saudaranya." Maksudnya, seseorang tidak boleh menjual di atas jual beli saudaranya. Misalnya, seseorang membeli barang dengan harga sepuluh (dirham), lalu penjual lainnya pergi kepada pembeli seraya mengatakan, "Aku akan menjual kepadamu dengan harga yang lebih murah." Karena ini bisa mengakibatkan kepada permusuhan dan kebencian.
"Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara." Jadilah kalian, wahai hamba-hamba Allah, sebagai saudara. Yakni, seperti saudara dalam hal kasih sayang, cinta, kedekatan, dan tidak bermusuhan. Kemudian beliau menegaskan persaudaraan ini dengan sabdanya, "Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya." Karena sesuatu yang menyatukan keduanya, yaitu Islam, ini adalah penghubung paling kuat di antara kaum muslimin.
"Ia tidak boleh menzhaliminya." Yakni, tidak melampui batas terhadapnya.
"Ia tidak boleh membiarkannya (tanpa memberikan pertolongan)." Di tempat di mana ia wajib menolongnya.
"Tidak mendustakannya." Yakni, tidak mengabarkan kepadanya dengan berita dusta.
"Tidak memperhinakannya." Yakni, tidak meremehkannya.
"Takwa itu ada di sini." Yakni, takwa kepada Allah itu tempatnya di hati. Jika hati bertakwa, maka anggota tubuh pun bertakwa.
"Seraya menunjuk ke hatinya tiga kali." Artinya, beliau mengatakan bahwa takwa itu di sini, takwa itu di sini, takwa itu di sini.
Kemudian beliau bersabda, "Cukuplah bagi seseorang suatu keburukan bila ia menghina saudaranya seislam." Bihasbi, artinya Hasbu (cukup). Sedangkan ba' pada kata itu adalah tambahan. Al-Hasb artinya kifayah (cukup). Artinya, seandainya tidak ada keburukan kecuali bila ia menghinakan saudaranya, maka ini sudah cukup.
"Setiap muslim itu haram: darah, harta dan kehormatannya." Berkenaan dengan darahnya, ia tidak boleh menzhaliminya dengan membunuhnya atau yang kurang dari itu. Berkenaan dengan hartanya, ia tidak boleh menzhalimi hartanya dengan merampas, mencuri, mengingkari kepemilikanya (atasnya) atau selainnya. Sementara berkenaan dengan kehormatannya, yakni popularitasnya maka tidak boleh menggunjingnya, karena dengan hal itu dapat mencabik-cabik kehormatannya.
Faedah-faedah hadits ini
1. Larangan terhadap hasad (kedengkian). Larangan ini untuk pengharaman. Hasad sangat banyak mudharatnya, di antaranya:
- Hasad itu berarti benci terhadap ketentuan Allah.
- Hasad itu permusuhan terhadap saudaranya.
- Hasad itu mengakibatkan kesedihan (penyesalan) di hati orang yang dengki. Setiap kali nikmat-nikmat tersebut bertambah maka bertambah pula kesedihan (penyesalan) ini, sehingga hidupnya menjadi merana.
2. Diharamkan munajasyah (atau tanajusy), karena di dalamnya berisikan kezhaliman terhadap orang lain, dan menjadi sebab saling memusuhi berikut faktor-faktornya. Tidak boleh manusia membenci saudaranya atau melakukan suatu sebab yang mendatangkan kebencian.
3. Diharamkan tadabur, yaitu membelakangi saudaranya, tidak mengindahkannya, dan tidak mendengarkannya; karena ini lawan ukhuwwah imaniyyah.
4. Diharamkan menjual di atas jual beli orang muslim lain. Dan persis dengan itu, membeli sesuatu yang sudah dibeli seorang muslim, meminang wanita yang sudah dipinang, menyewa sesuatu yang sudah disewa, dan selainnya dari hak-haknya.
5. Wajib menyuburkan ukhuwah imaniyah, berdasarkan sabdanya, "Dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara."
6. Menjelaskan keadaan seorang muslim bersama saudaranya, bahwa ia tidak boleh menzhaliminya, tidak membiarkannya (tanpa pertolongan), tidak mendustakannya, dan tidak pula menghinakannya. Karena semua ini menafikan ukhuwwah imaniyyah.
7. Tempat takwa itu ialah hati. Jika hati bertakwa, maka anggota tubuh pun bertakwa. Harus diketahui bahwa kata ini sering diucapkan sebagian orang ketika melakukan kemaksiatan dan perbuatannya diingkari. Ia mengatakan, "Takwa itu di sini." Ini adalah kalimat haq tetapi dimaksudkan untuk kebatilan. Ini jawabannya, kita katakan, "Seandainya di sini ada takwa niscaya anggota tubuh juga bertakwa, karena Nabi a bersabda,
أَلاَ إِنَّ فيِ اْلجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ.
'Ingatlah sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging; jika baik maka menjadi baiklah seluruh tubuh, dan jika rusak maka menjadi ru-saklah seluruh tubuh. Ingatlah, ia adalah hati'."
8. Diulang-ulanginya kalimat yang penting untuk menjelaskan perhatian terhadapnya dan supaya difahami, dengan sabdanya, "Takwa itu di sini," seraya mengisyaratkan ke dadanya tiga kali.
9. Bahayanya menghinakan seorang muslim, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Cukuplah bagi seseorang suatu keburukan bila ia menghina saudaranya seislam." Hal itu mengingat karena menghinakan seorang muslim mengakibatkan banyak kerugian.
10. Diharamkannya darah, harta dan kehormatan seorang muslim. Inilah prinsipnya. Tetapi ada sebab-sebab menghalalkan hal itu. Karena itu, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa haq." (Asy-Syura: 42).
"Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka." (Asy-Syura: 41).
11. Umat Islam seandainya mengikuti arahan-arahan ini, niscaya mereka mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena semuanya adalah etika-etika besar, tinggi lagi mulia, yang akan mendatangkan berbagai kemaslahatan dan menolak berbagai kerugian.
CATATAN:
* Lihat Syarah an-Nawawi atas hadits ke-13 dari buku ini
** Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 6077; dan Muslim, no. 2560, dari hadits Abu Ayyub RA
*** Hadits Dha’if lihat Dhaif al-Jami' 2197
**** Hadits dha'if, riwayat at-Tirmidzi, no. 1140; Abu Daud, no. 2134; Ibnu Majah, no. 1971; an-Nasa'i dalam al-Kubra, 5/ 281; Ahmad, 6/ 144; al-Hakim, 2/ 204; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 7/ 298; dan didha'ifkan al-Albani dalam Dha'if al-Jami', no. 4593
HADITS KE-1258
وَعَنْ قُطْبَةَ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ اَلْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ وَالْأَدْوَاءِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَاللَّفْظِ لَه
Dari Quthbah Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ya Allah jauhkanlah diriku dari kejelekan akhlak perbuatan hawa nafsu dan penyakit." Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Hakim dan lafadz ini menurut riwayatnya.
HADITS KE-1259
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تُمَارِ أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْف
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah membantah saudaramu jangan bergurau dengannya dan jangan pula engkau menjanjikannya suatu janji lalu engkau mengingkarinya." Riwayat Tirmidzi dengan sanad lemah.
HADITS KE-1260
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( خَصْلَتَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي مُؤْمِنٍ اَلْبُخْلُ وَسُوءُ اَلْخُلُقِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَفِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ
Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Dua sifat jangan sampai berkumpul dalam diri seorang muslim yaitu kikir dan akhlak jelek." Riwayat Tirmidzi dan dalam sanadnya ada kelemahan.
HADITS KE-1261
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( اَلْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى اَلْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ اَلْمَظْلُومُ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Dua orang yang saling memaki itu seperti apa yang mereka katakan namun kesalahan ada para orang yang memulai selama orang yang mendapat makian tidak melewati batas (dalam membalas makiannya." Riwayat Muslim.
HADITS KE-1262
وَعَنْ أَبِي صِرْمَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ اَللَّهُ وَمَنْ شَاقَّ مُسَلِّمًا شَقَّ اَللَّهُ عَلَيْهِ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه
Dari Abu Shirmah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menyengsarakan seorang muslim Allah akan menyengsarakan dirinya dan barangsiapa menyusahkan seorang muslim Allah akan menimpakan kesusahan kepadanya." Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi.
HADITS KE-1263
وَعَنْ أَبِي اَلدَّرْدَاءِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّهَ يُبْغِضُ اَلْفَاحِشَ اَلْبَذِيءَ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
Dari Abu Darda' Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah murka kepada orang yang berperangai jahat dan berlidah kotor." Hadits shahih riwayat Tirmidzi.
HADITS KE-1264
وَلَهُ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ مَسْعُودٍ -رَفَعَهُ- ( لَيْسَ اَلْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اَللَّعَّانُ وَلَا اَلْفَاحِشَ وَلَا اَلْبَذِيءَ ) وَحَسَّنَهُ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَرَجَّحَ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَقْفَه
Menurut riwayatnya yang lain dalam hadits marfu' dari Ibnu Mas'ud r.a: "Orang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela bukan yang suka melaknat bukan yang berperangai jahat dan bukan pula yang berlidah kotor." Hadits hasan dan shahih menurut Tirmidzi. Daruquthni menilainya hadits mauquf.
HADITS KE-1265
وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَسُبُّوا اَلْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
“Dari ‘Aisyah radhiallaahu 'anha, dia berkata: Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan’ “. (H.R.al-Bukhâriy)
Beberapa Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits Diatas
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.
Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.
Ibnu al-Atsîr berkata di dalam kitabnya Usud al-Ghâbah : “Ketika ‘Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam, banyak orang-orang yang berkata: ’wah!, ini adalah anak musuh Allah, Abu Jahal’. Ucapan ini menyakiti hati ‘Ikrimah karenanya dia mengadukan perihal tersebut kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, lantas beliau bersabda: “Janganlah kalian mencela ayahnya karena mencela orang yang sudah mati, akan menyakiti orang yang masih hidup (keluarganya)”.Imam an-Nawawiy berkata: “Ketahuilah, bahwa ghibah (membicarakan kejelekan orang lain ketika orangnya tidak ada di tempat) dibolehkan bila dimaksudkan untuk tujuan yang benar dan disyari’atkan dimana tidak mungkin untuk ditempuh selain dengan cara itu…”. Kemudian beliau menyebutkan: “diantaranya; untuk memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejahatan dan untuk menashihati mereka. Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa sisi, diantaranya (seperti di dalam ilmu hadits-red); boleh men-jarh (mencacati) para periwayat dan para saksi yang dikenal sebagai al-Majrûhîn (orang-orang yang dicacati karena riwayat yang disampaikannya tidak sesuai dengan kriteria riwayat yang boleh diterima baik dari sisi individunya, seperti hafalannya lemah, dan lain sebagainya-red); maka, hal seperti ini secara ijma’ kaum Muslimin adalah dibolehkan bahkan wajib hukumnya. Diantaranya lagi, dengan tujuan memperkenalkan seseorang bila dia dikenal dengan julukan tertentu seperti al-A’masy (si picak), al-A’raj (si pincang), al-Ashamm (si tuli), dan sebagainya. Sedangkan bila julukan itu dilontarkan untuk tujuan merendahkan maka haram hukumnya. Oleh karena itu, lebih baik lagi menghindari penggunaan julukan semacam itu sedapat mungkin”.
Di dalam menyikapi orang-orang yang sudah mati, mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa kita berharap agar orang yang berbuat baik dari mereka diberi ganjaran pahala oleh Allah, dirahmati dan tidak disiksa olehNya. Sedangkan terhadap orang yang berbuat buruk, kita mengkhawatirkan dirinya disiksa karena dosa-dosa dan keburukan yang diperbuatnya. Kita juga tidak bersaksi terhadap seseorang bahwa dia ahli surga atau ahli neraka kecuali orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan hal itu.
Diharamkan berburuk sangka terhadap seorang Muslim yang secara lahirnya adalah lurus, berbeda dengan orang yang secara lahirnya memang fasiq maka tidak berdosa bila berburuk sangka terhadapnya.
(Materi bahasan hadits diambil dari kitab “Taudlîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm” karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Juz VI, hal. 346, hadits no. 1312)
HADITS KE-1266
وَعَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَتَّاتٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Hudzaifah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang suka memfitnah." Muttafaq Alaihi.
HADITS KE-1267
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ كَفَّ غَضَبَهُ كَفَّ اَللَّهُ عَنْهُ عَذَابَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ
وَلَهُ شَاهِدٌ: مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عُمَرَ عِنْدَ اِبْنِ أَبِي اَلدُّنْيَا
Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mampu menahan amarahnya Allah akan menahan dirinya dari adzab-Nya." Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath.
Hadits tersebut mempunyai hadits saksi dari Ibnu Umar riwayat Ibnu Abuddunya.
HADITS KE-1268
وَعَنْ أَبِي بَكْرٍ اَلصِّدِّيقِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ خِبٌّ وَلَا بَخِيلٌ وَلَا سَيِّئُ اَلْمَلَكَةِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَفَرَّقَهُ حَدِيثَيْنِ وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْف
Dari Abu Bakar ash-Shiddiq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang suka menipu orang kikir dan orang yang tidak bertanggungjawab terhadap apa yang dimilikinya." Riwayat Tirmidzi. Ia menjadikannya dua hadits dan dalam sanadnya ada kelemahan.
HADITS KE-1269
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ تَسَمَّعَ حَدِيثَ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ صُبَّ فِي أُذُنَيْهِ اَلْآنُكُ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) يَعْنِي: اَلرَّصَاصَ. أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mendengarkan pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak suka hal itu didengar pada hari kiamat kedua telinganya akan dituangi anuk -yakni:timah." Riwayat Bukhari.
HADITS KE-1270
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبَهُ عَنْ عُيُوبِ اَلنَّاسِ ) أَخْرَجَهُ اَلْبَزَّارُ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berbahagialah orang yang tersibukkan dengan aibnya sehingga ia tidak memperhatikan aib orang lain." Riwayat Al-Bazzar dengan sanad hasan.
HADITS KE-1271
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ تَعَاظَمَ فِي نَفْسِهِ وَاخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اَللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ ) أَخْرَجَهُ اَلْحَاكِمُ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menganggap besar dirinya dan bersikap sombong dalam berjalan ia akan menemui Allah dalam keadaan amat marah kepadanya." Riwayat Hakim dan para perawinya dapat dipercaya.
HADITS KE-1272
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْعَجَلَةُ مِنَ اَلشَّيْطَانِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَسَنٌ
Dari Sahal Ibnu Sa'ad Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tergesa-gesa adalah termasuk perbuatan setan." Riwayat Tirmidzi. Dia berkata bahwa hadits tersebut hasan.
HADITS KE-1273
وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلشُّؤْمُ: سُوءُ اَلْخُلُقِ ) أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْف
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Beranggapan jelek adalah perangai yang jelek." Riwayat Ahmad dan sanadnya lemah.
HADITS KE-1274
وَعَنْ أَبِي اَلدَّرْدَاءِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ اَللَّعَّانِينَ لَا يَكُونُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Darda Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang suka melaknat tidak akan menjadi pemberi syafa'at dan menjadi saksi pada hari kiamat." Riwayat Muslim.
HADITS KE-1275
وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَسَنَدُهُ مُنْقَطِعٌ
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menghina saudaranya karena suatu dosa ia tidak akan mati sebelum melakukannya." Hadits hasan riwayat Tirmidzi dan sanadnya terputus.
HADITS KE-1276
وَعَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيَضْحَكَ بِهِ اَلْقَوْمُ وَيْلٌ لَهُ ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلثَّلَاثَةُ وَإِسْنَادُهُ قَوِيٌّ
Dari Bahez Ibnu Hakim dari ayahnya dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Celakalah orang yang berbicara padahal ia bohong untuk sekedar membuat orang-orang tertawa celakalah dia kemudian celakalah dia." Riwayat Imam Tiga dan sanadnya kuat.
HADITS KE-1277
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كَفَّارَةٌ مَنْ اِغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ ) رَوَاهُ اَلْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ
Dari Anas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kafarat (membayar denda) kepada orang-orang yang engkau umpat ialah engkau memohon ampun untuknya." Riwayat Ibnu Abu Usamah dengan sanad lemah.
HADITS KE-1278
وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَبْغَضُ اَلرِّجَالِ إِلَى اَللَّهِ اَلْأَلَدُّ اَلْخَصِمُ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang paling dibenci Allah ialah pembantah yang mencari-cari alasan untuk memenangkan pendapatnya." Riwayat Muslim.